20. Rama & Toko Buku

Mulai dari awal
                                    

Hampir satu jam aku hanya mondar-mandir tak jelas di depan cermin, berusaha tetap tenang meski sebenarnya aku sangat kewalahan menghadapi degup jantungku.

Rajendra Rama Hakmani:
"Depan."

Oke. Itu hanya satu kata. Satu kata yang membuatku panik bukan main dan dengan spontan melangkah buru-buru. Aku bahkan tidak sempat memutuskan mau kuapakan rambutku, apakah harus kucatok lurus atau justru kutambahkan kesan curly. Tidak ada waktu memikirkannya karena Rama sudah sampai di depan rumahku.

Dengan rasa panik yang masih sama, aku menuruni tangga sambil menguncir rambutku ke belakang. Sialnya, aku hampir terjatuh setelah tiba di depan pagar rumah. Aku hanya berharap Rama tidak melihat itu, karena tentu ini akan lebih dari sekadar memalukan.

Tapi ... di mana dia? Katanya di depan rumahku? Aku menoleh ke kanan dan kiri, tetap tak kulihat mobil Honda Jazz berwarna carnival yellow terparkir di sekitaran rumah. Sampai akhirnya, suara klakson membuatku tersentak.

Pantas saja aku tidak menemukannya. Orang mobilnya beda! Hari itu dia menjemputku dengan mobil Honda CRV Prestige berwarna putih yang dengan langsung membuatku berpikir, mobilnya ada berapa, sih?! Dan, kenapa pula jantungku harus berdetak dengan ritme sekacau ini saat mulai berjalan menuju mobil itu?

Tanganku membuka pintu mobil, lantas langsung duduk di kursi penumpang tepat di samping Rama tanpa punya sedikit pun keberanian untuk menoleh ke arahnya. Tuhan ... aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa gugup begini hanya karena duduk berdua di dalam mobil bersama seorang lelaki. Ini rasanya berbeda, sungguh jauh berbeda jika dibandingkan ketika aku duduk di samping Andre. Rasanya mengingatkanku seperti saat aku duduk di dalam mobil bersama Julian dulu, tapi yang satu ini jauh lebih mendebarkan.

Tuhan ... apakah degup jantungku yang tidak teratur ini hendak memberitahu bahwa aku sudah suka Rama sejak kemarin-kemarin? Ah, aku tidak mau menemukan jawabannya.

Kuberanikan diriku menoleh, kemudian terperanjat karena ternyata Rama sedang menatap ke arahku. Tunggu, lebih tepatnya, dia sudah memandangiku sedari tadi! Aku tidak yakin, tapi dari tatapannya itu, dia terlihat seperti .... speechless?

"Harus sekali, ya, menatapku seperti itu? Kenapa?"

Dia langsung membuang tatapannya ke sembarang arah. Menggaruk tengkuknya, lantas dengan buru-buru menyalakan mesin mobil. Kupikir kita akan segera jalan menuju toko buku yang ada di Grand Mall Cavvarta, tapi yang ada Rama kembali menoleh, menatapku dengan tatapan yang seperti tadi. Sedalam tadi, dan sama kuatnya.

"Rama? Inikah caramu menyapaku? Begini caramu mengatakan 'Hai, Raina' ? Kenapa kau seperti sedang melihat hantu, sih?"

Lagi, dia terlihat seperti orang yang salah tingkah saat mengalihkan tatapannya ke sembarang arah yang bukan ke arahku. Dia mulai melajukan mobil, tetap diam saat aku justru semakin dibuat gugup dengan situasi.

Kenapa dia menatapku cukup lama ya tadi? Apa riasanku terlalu menor? Oh, Raina, harusnya kau memang tidak perlu sampai bersolek begini! Atau mungkin, pakaianku terlalu ramai? Kurang cocok dengan bentuk badanku?

"Tidak usah pikir macam-macam," ucap Rama meruntuhkan menara otakku. "Aku hanya sedikit terkejut melihatmu yang hari ini sedikit ... berbeda. Berbeda dengan apa yang selama ini kulihat lewat kuliah online."

FWB: Friends With BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang