12. Menolak Mengabaikan

44 3 0
                                    

Satu per satu dari kami langsung pulang dari rumah Kirei saat jam sudah menunjukkan waktu pukul setengah enam sore. Sesampainya aku di rumah, aku sedikit heran melihat kawasan rumahku yang hari itu tiba-tiba saja terlihat sepi. Tidak, maksudku aku tau bahwa selama ayah jarang ada di rumah, aku memang selalu merasa kesepian di rumah ini—namun kali ini kesepian itu melebihi dari yang biasanya. Biasanya ada beberapa penghuni kos-kosan yang mengontrak di lantai bawah—berkeliaran di depan kamar mereka masing-masing, atau setidaknya ada beberapa asisten rumah tangga yang akan bersama-sama menyapu halaman. Namun kali ini berbeda. Rumah itu seperti kosong, bahkan Bang Thoriq tidak terlihat di pos jaganya.

Tapi aku memilih untuk tidak memikirkannya lebih jauh, bisa saja mereka semua memilih untuk bersantai dan mengurung diri di sore hari berhubung hari itu adalah Minggu. Aku langung melangkahkan kakiku naik ke lantai dua dimana tangganya memang sengaja dibangun dari luar rumah karena ayah ingin membentuk privasi yang terpisah antara penghuni kos-kosan di lantai satu, dan kami sang pemilik di lantai dua.

Tiba di balkon lantai dua suasana masih sama, aku bahkan sampai berpikir bahwa tidak ada orang di dalam rumah—menjadi alasan satu-satunya untuk aku langsung saja menyelonong masuk menuju kamarku tanpa mengucapkan salam lebih dulu. Awalnya aku tidak ingin melipir kemanapun dan ingin langsung masuk ke kamarku saja, namun ekor mataku tak sengaja menangkap pemandangan dari depan kamar ibu yang membuat langkahku seketika terhenti.

Pintu ibu tidak ditutup, jadi aku bisa melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri saat dia memejamkan matanya sambil berdiri dalam pelukan seorang pria yang bukan ayahku. Mereka berciuman, menyalurkan hasrat dengan bibir mereka yang saling menuntut rasa puas. Aku mematung di sana tanpa ekspresi apapun, sebelum kedua manusia yang kubenci itu menyadari keberadaanku di ambang pintu.

Ibu terkejut, sama terkejutnya dengan lelaki yang dia kencani. Pria berengsek itu buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut saat ibu juga langsung meraih apa saja untuk menutupi rasa malunya.

Dia menatapku dengan ekspresi yang masih sama ketika tatapanku justru biasa saja. "Bagaimana, Bu? Enak?" tanyaku sarkastik.

Ibu langsng berjalan cepat ke arahku dengan tubuhnya yang masih dia tutupi dengan sehelai kain. "ANAK KURANG AJAR! PERGI KAU!"

"Pergi?" Aku terkekeh. "Kenapa aku harus pergi? Aku akan pergi jika seandainya pacarmu itu yang menjadi pemilik rumah. Tapi sayangnya rumah ini milik ayahku."

Ibu terdiam dengan wajah memerah, entah karena malu atau menahan emosi akibat sindiranku barusan.

"Tapi tidak apa-apa, aku tidak akan mengatakan apapun kepada pemilik rumah ini tentang apa yang kalian lakukan, karena kurasa ini bukan urusanku. Bagiku ini tidak penting. Kalian bukan siapa-siapa. Kau ... aku bahkan tidak lagi sudi menyebutmu ibuku. Kalian bisa melanjutkan itu, maaf sempat mengganggu."

Hanya itu, kemudian aku langsung melangkah cepat ke arah kamarku. Aku juga masih bisa mendengar ibu yang meneriakiku dengan berbagai macam umpatan sebelum aku menyahutinya dengan suara bantingan pintu dari kamarku.

Well, selamat datang di rumahku dengan suasananya yang begitu ... hangat.

• • •

Sama seperti rasa sakit sebelum-sebelumnya, kali itu aku kembali berusaha menyangkal perasaan-perasaan yang membuatku tidak nyaman dengan berbagai macam distraksi. Aku tidak suka jika perasaanku harus bergantung dengan orang lain, aku tidak suka jika kesedihanku harus disebabkan oleh orang-orang yang bahkan tidak akan peduli tentang apa yang akan kurasa.

Aku tidak akan rela membiarkan mataku meneteskan sedikit pun air mata untuk wanita yang tidak pernah pantas kusebut ibu. Untuk itu aku langsung menyalakan layar ponselku, mengusahakan apa saja yang bisa mengalihkan perhatianku.

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now