#8_Tahap Demi Tahap

Mulai dari awal
                                    

Aku mengemasi barang-barang yang akan kubawa pulang. Sebentar lagi jam praktek akan selesai. Itu berarti aku bisa pulang dan beristirahat sebentar, mengumpulkan tenaga dan kata-kata untuk nanti malam aku bertemu dengan ayah Ayumi.

Selain itu, aku juga harus menyiapkan hati jika pada akhirnya nanti Ayumi mengatakan yang sebenarnya aku tak ingin mendengarnya. Kusetel air mataku untuk tidak tumpah ketika jawaban Ayumi ternyata tak sesuai fikiranku.

###

"Papa. Kaffa izin keluar, ya. Kaffa minta restu papa. Malam ini Kaffa ingin bertemu dengan orangtua Ayumi untuk membicarakan lebih lanjut tentang niat Kaffa." ucapku ketika kami sedang berkumpul diruang tengah.

Pernyataanku membuat Attala tersedak minuman yang sedang ia minum.

"Lu serius?" tanya Attala tak percaya. "Ternyata lu ngga bohong ya, bang." sambungnya lagi. Papa tertawa.

"Kapan gue bilang gue bercanda? Gue bilang serius, tapi lu ngga percaya." ketusku pelan. Attala semakin mengernyitkan dahinya.

"Bang." rengeknya manja, bahkan aku melihat ada air mata yang keluar diujung kelopak matanya.

"Mengapa, Attala? Abangmu ini sudah cukup umurnya untuk menikah. Jadi, biarkan saja ia memilih pendamping untuk menemani kehidupannya." ucap Papa. Aku menjulurkan lidah pada Attala.

"Tapi, pa. Mama..?" ucapku terputus.

"Kamu tak perlu memikirkan mama, jalani saja apa yang menjadi keinginanmu. Pasal mama, itu bisa diurus nanti." jawab papa. Aku semakin bersemangat untuk bertemu pak Ardhi malam nanti.

Kutarik nafasku dalam-dalam, sudah hampir 15 menit aku berada di cafe yang menjadi tempat yang kami janjikan. Namun hingga kini, pak Ardhi belum juga memunculkan wajahnya.

"Assalamualaikum, dokter Kaffa." akhirnya pak Ardhi datang, ia menjabat tangan kemudian duduk dihadapanku.

"Waalaikumussalam."

"Maaf, dokter Kaffa. Saya datang terlambat. Tadi mobilnya harus diperbaiki sebentar." ucap pak Ardhi, aku baru menyadari bahwa pak Ardhi datang sendirian, tidak dengan kursi roda dan orang yang membantu mendorongnya.

"Tidak masalah, pak. Bagaimana keadaan bapak sekarang?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Seperti yang dokter lihat sekarang, saya sudah baik-baik saja. Alhamdulillah saya sudah bisa masuk kerja seperti biasanya." ucap pak Ardhi antusias.

"Alhamdulillah." gumamku pelan. Pak Ardhi tertawa.

"Oiya, dokter. Untuk jawaban yang dokter ajukan beberapa hari yang lalu.." pak Ardhi memotong ucapannya. Kutarik nafasku dalam-dalam. Detak jantungku berdebar begitu kencang, ku biarkan pak Ardhi melanjutkan ucapannya.

"Ayumi menerimanya. Tapi jika dokter Kaffa masih ingin mengetahui lebih lanjutnya, atau ingin mendengar langsung bagaimana dan apa yang harus disiapkan dari Ayumi, dokter Kaffa bisa merencanakan jadwal selanjutnya, karena Ayumi masih sibuk mengajar." Aku bernafas lega. Mulutku tak henti-hentinya mengucap syukur. Senyumku merekah.

"Baik, pak. Terima kasih, tolong sampaikan pada Ayumi saya mengucapkan banyak terima kasih padanya." balasku. Bahkan aku tak tahu kata-kata apa lagi yang harus kuutarakan sebagai wujud rasa bahagiaku.

"Boleh saya tahu tentang kepribadian Ayumi, pak?" tanyaku pelan. Pak Ardhi tertawa, namun ternyata tawa nya justru menahan sebuah tangisan.

"Ayumi itu putri sulung saya. Putri kebanggaan saya dan istri. Ayumi hadir disaat kami masih belajar menjadi orangtua baru yang belum mengerti apapun. Sejak lahir, saya dan istri selalu berupaya untuk mengenalkan agama pada putri-putri kami. Kami juga menyekolahkan mereka di sekolah-sekolah basic islami. Tapi hanya Ayumi yang berhasil mendapatkan beasiswa di Cairo. Sejak kecil memang Ayumi bercita-cita ingin bersekolah disana. Dan Alhamdulillah, semua impiannya tercapai, dokter. Ayumi selalu bisa membahagiakan papa dan mamanya dengan prestasi hebat yang selalu ia raih. Namun, saat ia masih menyelesaikan pendidikannya di Mesir, mama nya meninggal dunia. Mama nya kalah dengan penyakit Kanker darahnya, Ayumi pernah marah karena ia tak pernah diberi tahu tentang penyakit mamanya. Bahkan kami baru memberanikan diri untik memberi tahu Ayumi saat 3 hari setelah mamanya meninggal. Tapi, lambat laun ia mulai bisa menerimanya." jelas pak Ardhi, aku berkali-kali dibuat takjub dengan kisah tentangnya.

Berulang kali pula pak Ardhi berkata bahwa Ayumi adalah putri kebanggaannya. Mungkin orangtuanya sangat bangga memiliki putri sepertinya.

Cukup lama aku dan pak Ardhi berbincang tentang Ayumi. Lagi-lagi aku dibuat takjub dengan ceritanya. Ya, aku yakin tak salah memilih Ayumi.

"Terima kasih, pak. Untuk semuanya saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga saya bisa terus menjadi lebih baik untuk bisa membimbing Ayumi."

###

Kaffa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang