• 39 : Slowly •

111 15 4
                                    

•••

Thirty Nine

Lucifer memijit pangkal hidungnya pelan, hela napas berat meluncur dari bibirnya. Otaknya terasa penuh, memikirkan bagaimana Namjoon kembali membuatnya kelelahan. Namjoon itu, entah bagaimana, sulit sekali untuk mengendalikan emosinya. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan Ashley, jangan harap nyawamu bebas berkeliaran. Ia akan mencarimu meski sampai ujung dunia.

Tak dapat dipungkiri, Lucifer tahu pasti rasanya begitu sakit saat kehilangan seseorang yang amat disayang. Meski selalu disembunyikannya, perpisahan dengan Rafael dahulu itu juga membuatnya bagai mayat setengah hidup. Hampa, kosong, serasa berjalan di atas angin tanpa ada tujuan yang menarik hati. Tapi jiwa kesombongannya yang besar mampu mengubur dalam-dalam perasaan kehilangan itu, menyimpannya di sudut memori dan membiarkannya usang tak pernah dilirik lagi.

Seringkali Lucifer beranda-andai, bagaimanakah jika kepercayaan dirinya tak pernah melebihi batas wajar?

Akan membuatnya tetap bertahan di Surga, menjadi bagian dari para malaikat suci pelambang kebajikan duniawi.

Tangan Lucifer terangkat ke depan, ia membuat gerakan seperti membelai benda tak kasat mata dengan pola setengah lingkaran. Dalam sekejap, muncul sebuah pigura kecil dari ketiadaan. Pigura yang disembunyikan Lucifer dalam sebuah tempat entah apa dan dimana yang hanya diketahui olehnya.

Pigura berisikan fotonya bersama Rafael, berdampingan, berhias senyum menawan.

Sama seperti yang Rafael miliki, jauh di atas sana.

Lucifer menggenggamnya erat, sesekali sudut bibirnya naik kala ingatannya memutar kembali rekaman kisah lama penuh momen hangat Lucifer bersama adiknya.

Iya, adik.

Lucifer bersumpah akan selalu menganggap Rafael sebagai adiknya sendiri, meski gejolak dalam dirinya terus-terusan meraung tanpa henti. Meski hatinya selalu merasa sakit kala ia tak dapat lagi bertemu dengan malaikat itu. Meski di sela-sela dadanya selalu dipenuhi kerinduan mendalam yang minta dikeluarkan.

Tidak seperti Namjoon yang mungkin selalu denial terhadap perasaannya sendiri, Lucifer tahu. Ia tahu jauh sebelum semuanya terjadi seperti ini, ada sesuatu yang lebih, bersemayam di sana. Sesuatu yang jauh lebih menuntut dan menggebu-gebu. Namun sama seperti anaknya sendiri, ia selalu berpaling.

Memalingkan langkahnya dari setiap benang yang berakhir pada Rafael.

Memalingkan pandangnya menjauhi netra teduh Rafael yang membuatnya selalu merasa nyaman.

Lucifer sadar betapa munafiknya ia, meminta Namjoon untuk menghadapi masalahnya dengan berani ketika ia sendiri pun masih melarikan diri.

Tapi bukankah hampir semua orang tua seperti itu?

Mereka akan berpesan pada sang anak agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, agar siklusnya tak terus monoton berulang.

Mereka selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, meski itu berarti kemunafikan.

Lucifer melepas pigura di tangannya, memperhatikan bagaimana benda tersebut melayang sejenak di udara sebelum akhirnya kembali menghilang ditelan cahaya, kembali pada tempatnya semula.

Semua akan baik-baik saja kan, Rafael?


Malam itu hawa dingin terasa menusuk, tapi tidak mengganggu dua sejoli yang sedang bergurau di atas bukit. Dunia serasa milik berdua, mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri tanpa menyadari sepasang mata tajam yang tak melepas pandangannya meski sedetik pun. Hawa kehadirannya sempurna tersamarkan oleh kabut-kabut kecil nafsu yang mengelilingi dua orang di hadapannya.

Sinners [NamJin]Where stories live. Discover now