Tidak jauh dari itu ada seorang penjual cendol dawet segar, tapi harganya tidak lima ratusan. Aku tahu bapak-bapak yang menjualnya karena sering beli juga kalau sedang jaga Yang Kusayang. Seingatku dia pulang ke Jawa beberapa bulan lalu jadi tidak pernah lihat lagi sampai hari ini. Tidak perlu heran, dia memang salah satu warga Mandalasari jadi informasi semacam itu tidak sulit dicari.

"Lah balik lagi Pak?" tanyaku dengan motor yang melaju.

"Iya, Neng," jawab si Bapak yang wajahnya semula mengerut berubah menebar senyum. "Mau ke mana?"

"Jalan-jalan. Nanti saya beli ya!" seruku karena motor kami semakin jauh.

Sudah menyebalkan, tidak pengertian pula. Harusnya kalau orang mengobrol itu motornya dijalankan pelan supaya tidak mengganggu proses pembicaraan, dia malah tidak menyapa tukang cendol itu, seperti tidak kenal saja.

Beberapa menit berlalu, kami sampai di pusat perbelanjaan tradisional. Meski siang-siang begini, pasar selalu ramai dan berisik, juga bau amis karena di dekat parkiran ada penjual ikan. Berbelok ke arah kanan sedikit ada penjual kaos dan celana dalam, kaget sedikit karena ada yang mirip dengan yang kupunya, padahal tidak usah kaget karena memang membelinya dari sana.

"Sebelum masuk, gue mau kita bikin perjanjian," ucap si Rian tiba-tiba setelah diam tidak mengajak bicara dari terakhir kali mendeklarasikan dirinya sebagai rekan kerja paling rajin.

Masih dengan wajah sebal, aku menyahut, "Apaan?"

"Ini pasar, berisik, pasti bakal bikin kesel. Gue gak mau kita berantem selama di pasar ini, energi negatif dari pasar udah cukup, jangan ditambah berantemnya kita. Gimana?"

Si paling energi.

Idenya sih bagus, aku juga tidak mau kesalnya menjadi berlipat ganda. Sudah berisik, ada badut, penjual yang mendeskripsikan jualannya, penawaran ibu-ibu, bau amis, itu semua normal, tapi kalau ditambah bertengkar dengan si Rian bisa semakin menjengkelkan. Hanya saja aku masih sebal dia merasa sebagai karyawan paling rajin.

"Oke. Siapa takut, karyawan yang paling rajin!" ucapku sedikit ditekankan di kalimat terakhir.

Dia terkekeh. "Lu kesel karena gue bilang gitu tadi?"

"Iyalah. Gue juga rajin kali."

"Yaudah iya, Asti si paling rajin," jawabnya mengikuti gayaku bicara.

Setelah itu dia mendengkus dan menarik tanganku untuk masuk perlahan ke dalam pasar. Bau pindang mendadak menyeruak karena mereka berjualan berdekatan, di sampingnya ada penjual sepatu dan sendal, dilanjutkan dengan pedagang pakaian sekolah serta kebutuhannya.

Sedetik kemudian ibu-ibu menyenggolku dengan barang bawaannya yang banyak, dan di sanalah aku terdiam merasakan tubuhku memanas, bukan karena kesal pada si ibu-ibu penyenggol, tapi pada wanita yang jaraknya sekitar tujuh lapak berjualan. Mataku menangkapnya sedang berbelanja, sedangkan hatiku pedih dibuatnya entah kenapa.

Dia, ibu tiriku.

Sedetik kemudian, si Rian menarik tanganku lagi. "Kita ke lantai dua yuk, gue mau nyari sesuatu dulu."

***

Di lantai dua jualannya mirip-mirip, tapi lebih banyak penjual pakaian dan kebutuhan dapur. Lebih riuh dari lantai pertama, tapi isi kepalaku tidak terganggu karenanya. Semenjak tadi melihat ibu tiriku yang sudah memisahkanku dengan Bapak membuat isi kepalaku berputar di sana.

Ini sudah berbulan-bulan dari terakhir kali aku ketemu, dan aku benci melihatnya. Aku tidak mau bertemu lagi kalau bisa, selama di Yang Kusayang dia tidak pernah mampir ke sana karena jaraknya sangat berada di ujung perkampungan dekat kampung lain, sedangkan tempatku tinggal berada di dekat jalan. Hampir ujung ke ujung. Tetapi bukan berarti aku tidak pernah dengar kabar tentang di dan bapak, beberapa ibu-ibu tak jarang mengobrolkannya sebagai pemberitahuan kepadaku.

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now