1. Waktu Kematian

129 14 7
                                    

"Li An, kemungkinan kau hidup hanya seminggu."

Saat mendengar itu, yang pertama kali terlintas di pikiran Li An adalah Bebek Peking. Kemudian disusul Mapo Doufu, La Ji Zi, Tangkuliji, dan banyak olahan daging lain yang bercerita rasa pedas manis. Li An menghela napas. Bahkan jika perutnya sudah keroncongan, hidangan selezat itu tidak akan pernah bisa ia cicipi sampai mati.

Lu Li An, kau benar-benar menyedihkan.

Pemuda itu menghela napas lagi, mengabaikan dadanya yang semakin sakit setiap melakukan itu. Dokter Wu adalah lulusan terbaik dari Universitas Hongkong sekaligus mantan suami bibi Li An. Mereka sudah saling mengenal sejak Li An menjadi yatim piatu—kurang lebih 10 tahun dan kepribadian Dokter Wu tidak berubah sejak mereka pertama bertemu di rumah duka. Kepada seorang anak berusia tujuh tahun, Dokter Wu sama sekali tidak memeluk Li An atau menatap bocah itu dengan kasihan. Pria itu justru langsung memberi tahu segala peraturan di rumah utama keluarga Wu jika Li An ingin tinggal bersamanya.

Li An masih ingat kalau saat itu ia meraih uluran tangan Dokter Wu sambil gemetar ketakutan karena tatapannya yang dingin. Untungnya, sekarang remaja itu tidak terlalu terpengaruh dan sudah terbiasa.

Atau mungkin karena kekecewaannya lebih besar dari pada ketidaknyamanan karena tatapan Dokter Wu.

Seminggu ....

Li An menghela napas lagi lantas memejamkan mata. Benar-benar merasa sangat lelah. Bagaimanapun, sebagian besar pasien pasti ingin sembuh, dan ia salah satunya. Jadi mulai musim panas lima tahun lalu, Li An memberanikan diri untuk berhenti bersekolah demi menjalani perawatan. Ia juga memaksa diri memakan sayuran yang biasa dia hindari dan menelan puluhan obat pahit dengan harapan Leukimianya bisa kalah dari tekadnya. Akan tetapi, lama-kelamaan, Li An tidak bisa menipu diri karena kondisi fisiknya yang dengan cepat menurun. Selain itu, dengan kepribadian Dokter Wu, Li An sama sekali tidak mendengar kebohongan yang menyenangkan.

Maka satu-satunya yang mulai Li An lakukan adalah mempersiapkan diri.

Ia mulai sering membuka gadgetnya dan menulis cerita di situs terkenal. Selain mengusir kebosanan, Li An juga ingin memiliki penghasilan sendiri. Dokter Wu memang tidak pelit dan sudah pernah mengatakan jika ia akan mengisi rekening Li An setiap bulan dengan jumlah yang cukup, hanya saja Li An merasa bersalah. Apalagi setelah Dokter Wu merawatnya yang sakit-sakitan di rumah sakit yang bagus tanpa meminta bayaran.

Meski pria itu mengatakan dengan mulutnya sendiri jika sudah menjadi kewajibannya sebagai paman untuk merawat keponakannya yang belum dewasa, Li An tidak ingin hanya menjadi pihak penerima. Dan pikiran itu masih belum berubah sampai sekarang. Walau tidak seberapa, Li An berusaha untuk memiliki tabungan dari karya tulisnya. Dengan uang itu, ia ingin mengganti sedikit kerugian yang ia timbulkan pada paman dan teman-temannya.

Andai aku memiliki lebih banyak waktu ... mungkin aku bisa membayar seluruh hutangku pada mereka. Li An membatin.

Ada banyak penyesalan yang akan selalu dia ingat sampai mati. Tidak menyatakan perasaan pada orang yang dia taksir, tidak berani menjalin hubungan, ragu-ragu ketika diajak bermain dan menghabiskan seluruh waktu sebagai kutu buku, melakukan kesalahan memalukan ketika festival olahraga, terlalu sering ditraktir teman belajarnya ... dan masih banyak lagi. Kepala Li An akan pecah jika mengingat semuanya. Mungkin semua kenangan itu baru bisa dia lihat seluruhnya dalam kilas balik sebelum mati. Yang pasti, Li An tidak akan membenarkan diri kalau seluruh penyesalannya demi kebaikan orang lain.

Ada beberapa karena keegoisan diri sendiri, terutama yang menyangkut Dokter Wu. Penyesalan terbesarnya adalah tidak berusaha lebih keras untuk bersikap hangat. Seandainya dia melakukannya ... bukankah mereka berdua juga akan lebih nyaman dengan kehadirannya?

Being A Cannon Fodder Ghost Is So Much Fun!Where stories live. Discover now