28. Anxiety

2.3K 340 143
                                    

Memasuki waktu malam, rumah sakit sudah mulai sepi. Gerimis yang turun tadi sore menyisakan udara dingin juga embun yang mendarat di dedaunan. Di antara banyaknya derap langkah yang berlalu lalang, Kendra termasuk salah satunya. Remaja itu berhenti tepat di depan pintu ruang rawat Biru. Setelah keluar dari sana secara paksa satu jam lalu, pintunya belum kunjung terbuka.

Merasa lelah setelah menghabiskan waktu dengan berjalan memutari area rumah sakit, ia pun memilih duduk di kursi tunggu sembari menggosokkan kedua telapak tangannya guna mencari kehangatan. Meskipun sudah mengganti seragamnya yang basah, Kendra masih bisa merasakan dinginnya air laut.

Netra kembarnya setia menatap lurus ke depan. Kakak sepupunya masih mendekam di dalam sana. Tidak berniat pulang, Kendra memutuskan untuk menginap di rumah sakit untuk menemani Biru. Selain karena Jericho masih di luar kota, Kendra ingin tahu apa yang membuat Biru terlihat begitu frustrasi. Sejauh ini, tebakannya tertuju pada satu hal, yaitu perceraian dan juga perginya Florenz yang lain.

Biru sebenarnya sudah bangun, tetapi bukan karena kondisi yang baik, melainkan disebabkan oleh mimpi buruk, memaksanya untuk melarikan diri dari bunga tidurnya yang menyiksa. Dilihat dari reaksinya yang tidak biasa--entah stres atau depresi--membuat psikiater secara mendadak dipanggil untuk menanganinya.

Tak lama, lamunan Kendra dibuyarkan oleh seorang perawat yang memasuki ruangan Biru. Kendra tentu saja memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut masuk, tetapi ia malah berpapasan dengan psikiater yang menangani Biru. Psikiater itu menahannya agar tidak masuk. "Biarkan Biru sama perawat dulu, ya. Ada yang mau saya bicarakan. Setelah itu kamu bisa masuk, bahkan mungkin harus masuk."

"Harus?" Kendra mengulangi kata yang psikiater itu tekankan.

Psikiater bernama Yurina itu mengangguk pelan. Wanita itu kemudian mengajak Kendra untuk duduk. "Seharusnya saya bicarakan ini dengan orang tuanya, tapi saya sudah dengar cerita dari Biru sendiri soal apa yang terjadi."

"Kak Biru bisa diajak bicara?"

Yurina mengangguk. "Kamu tahu? Saya bersyukur akan hal itu, karena dengan bisa diajaknya pasien bicara, itu mengurangi hal-hal buruk yang sudah saya perkirakan." Yurina mengusap bahu Kendra dengan lembut. "Sebelumnya, boleh saya tahu, kamu siapanya Biru?"

"Saya, a-adik sepupunya." Kendra berkata dengan gugup sebab ini merupakan pertama kalinya ia memperkenalkan diri sebagai saudara Biru. "Ibu bisa panggil saya Kendra."

"Oke, Kendra. Berhubung kamu masih termasuk keluarganya, saya mau kasih tahu kamu soal kesehatan mental Biru. Dia mengalami gangguan kecemasan."

Kendra terkejut mendengarnya, sementara Yurina melanjutkan. "Ini cukup serius, disebabkan adanya masalah pada fungsi otak yang mengatur takut juga emosi. Semacam reaksi alami tubuh terhadap stres. Yang Biru perlihatkan tadi termasuk gangguan panik, tertekan secara emosional. Mimpi buruk yang bersangkutan dengan kejadian traumatis termasuk penyebab gangguannya bisa kambuh."

Kendra menoleh pada ruang rawat di depannya. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana gemetarnya Biru setelah bangun dari mimpi buruknya yang kemudian disusul sesak, gumaman tak jelas seperti takut akan sesuatu, lalu berakhir dengan teriakan sebelum akhirnya ditenangkan oleh Yurina dan rekannya.

"Serangan paniknya berlangsung selama kurang lebih tiga puluh menit. Dia cemas berlebihan karena takut sendiri. Kalau berkenan, bisa tolong hubungi keluarganya?"

Mendengar permintaan Yurina, Kendra sontak menggeleng, menyerah sebelum mencoba. "Maaf, Bu. Saya nggak mungkin bisa hubungi mereka. Hubungan saya sama mereka nggak pernah baik. Saya cuma dekat sama Kak Biru." Kendra menunduk karena menyesal tak bisa membantu. Jangankan yang lain, Athalla dan Haidar saja tidak bisa dihubungi.

A Little Thing Called : QUERENCIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang