48. Putus

11 2 0
                                    

Dika berniat menyusul Alvina ke toilet perempuan. Dia mendapat kabar dari Joshua bahwasanya Alvina tiba-tiba menghilang. Dan asumsinya mengarah pada toilet sekolah.

Masih beberapa langkah lagi menuju toilet sekolah. Namun, toilet itu tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok yang belakangan Dika hindari, Lala.

Dika terpaku. Gadis itu tampak begitu murung. Wajahnya yang bercahaya tampak kusam. Meskipun begitu, kecantikan tetap terpancar dari wajahnya.

Dika tersadar ketika sebuah tangan menariknya ke belakang sekolah. Dika tak menolak, tapi juga tak membalas genggaman tangan itu. Hanya mengikuti langkah si gadis.

"Ada apa?" tanya Dika dengan datar setelah berada di taman belakang sekolah.

Lala tampak kacau. Terlihat dari gadis itu yang menarik napas beberapa kali. Mulutnya membuka dan menutup seperti hendak mengatakan sesuatu. Dika rasa, Lala tengah menghalau perasaan campur aduk dalam hatinya demi berbicara padanya. Apalagi setelah ia melayangkan nada datar tadi.

"Selama ini kemana aja?" Suara Lala tercekat.

"Nyiapin acara pelantikan. Sekolah request acaranya gede, jadi gue sibuk."

Lala memejamkan matanya. Sementara Dika berulang kali mengucapkan maaf dalam hati. Dia sebenarnya tidak tega bertingkah seperti ini kepada Lala, hanya saja mereka memang tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Bagaimanapun, Dika saat ini berstatus tunangan orang lain.

"Sesibuk itu sampai nggak bisa dihubungi? Aku butuh kakak, tapi kenapa kamu nggak ada?" Dika mengepalkan tangannya. Berusaha menekan keinginannya yang tak mungkin ia laksanakan.

"Iya, gue bahkan nggak bisa ngehubungi orang tua gue," jujur Dika. Jika saja beberapa hari yang lalu Alvina tidak memaksanya untuk pulang, mungkin saja dia akan tetap menyibukkan diri. Dia benar-benar ingin melarikan diri dari kenyataan.

"Kalau gitu, biar aku cerita sekarang aja. Waktu itu aku kalah. Aku nggak fokus karena kakak ingkar janji, tapi tenang aja, aku nggak menyalahkan kakak sama sekali. Mungkin kakak emang lagi sibuk."

"Karena itu, aku dibully. Ya, walaupun masih banyak orang baik yang nolongin aku sih. Tapi tetep aja rasanya sedih. Kakak juga pasti tau 'kan foto di mading tadi?" Dika memejamkan matanya kala mengingat kejadian tadi pagi. Rasanya begitu menyesakkan melihat orang yang dicintainya disentuh lelaki lain.

"Itu bukan lo, kan?"

Dalam hati Dika berharap jika dugaannya benar. Dia sudah melihat tiga foto yang dipajang di mading. Namun, rasanya dia tidak percaya atau mungkin tidak ingin percaya jika itu adalah Lala. Rasanya tidak masuk akal ketika gadis baik hati seperti Lala melakukan hal yang tidak senonoh seperti itu.

Seperti apa yang Alvina katakan, Lala tidak serendah itu. Gadis itu pasti dijebak.

"Maaf, Kak. Itu emang aku." Dan hancurlah kepercayaan yang Dika bangun. Kepalan tangannya menguat. Bahkan kini buku-buku jarinya telah memutih.

Bohong. Dika yakin itu bohong. Dia tidak percaya jika Lala melakukan hal serendah itu. Apalagi salah satu latarnya adalah di sekolah.

Pasti ada sesuatu di balik foto itu, kan? Lala tidak akan memberikan kehormatannya begitu saja. Pasti ada paksaan dari seseorang. Akan tetapi, benarkah begitu? Bagaimana jika keyakinannya kali ini juga akan dipatahkan oleh kebenaran?

Dika memutuskan untuk tidak bertanya. Dia tidak ingin dipatahkan lagi oleh realita. Yang harus ia lakukan adalah mengakhiri semuanya. Keputusannya sudah bulat.

"Jadi, lo pengen kayak gimana?"

"Putusin Lala."

Tiba-tiba saja sekelebat percakapannya dengan Alvina terngiang di kepala Dika. Ini adalah saat yang tepat untuk memutuskan hubungan dengan Lala. Skandal ini bisa ia jadikan alibi.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang