Bab 14 Ini Tak Mudah

2 1 5
                                    

Ryan membuka pintu gerbang dan langsung masuk ke dalam rumah masih dengan mulut terkunci. Abelle melihatnya dengan tatapan bingung dan kesal, tapi akhirnya ia pun ikut masuk ke dalam.

Setelah di dalam, Ryan menghadap ke arah Abelle dan bersiap mengeluarkan kata-katanya.

“Tuh, kunci rumahmu ketinggalan. Awalnya saya mau pulang daripada diem di sini tapi tuan rumahnya makan di luar. Tapi pas saya udah jalan, saya mikir gimana nanti kamu masuk rumah kalo nggak ada saya? Kamu juga nggak ngasih tau saya jam berapa mau balik, jadi saya balik lagi ke sini.”

Abelle terdiam mendengar itu. Ia menoleh ke arah sofa dan melihat kunci rumahnya terselip.

“Cuma sekali ini aja, kak. Ini terakhir kalinya aku keluar, kenapa Kak Ryan marah banget?” Abelle menghirup napas pendek-pendek.

Ryan mengambil celemek dari tasnya, menggenggamnya erat-erat, dan menunjukkannya pada Abelle. Tangannya ancang-ancang hendak melempar celemek itu ke lantai, tapi urung. Ryan tidak akan bisa menjatuhkan celemek buatan ibunya itu. Lantas ia menatap tajam ke arah Abelle.

“Saya lulus dari sekolah masak berharap bisa cepet dapet kerja. Tapi saya salah, saya nganggur dua bulan dan bikin orang tua saya sedih. Akhirnya, ada orang yang nawarin kerjaan, dan inilah pekerjaan pertama saya. Saya udah semangat nyiapin banyak hal untuk masak di rumah ini, tapi kamu bikin saya kecewa …” lidahnya kelu melanjutkan perkataannya.

“Saya emang nggak sempurna. Saya pernah bikin kecewa. Tapi saya butuh dihargai orang lain …” Matanya mulai buram karena sesuatu. Sesuatu yang sebentar lagi akan jatuh.

Jadi laki-laki nggak boleh nangis! Apalagi di depan perempuan!

Deg.

Perkataan ayahnya langsung terlintas di kepala Ryan saat tetesan pertama air matanya jatuh.

Ia cepat-cepat mengusap matanya dengan tangannya.

“Sebenernya saya bisa diem doang di sini dan tetep dapet bayaran. Tapi saya masih punya hati. Dulu orang lain selalu ngenilai hasil kerja saya pake teori, sekarang saya pengen orang yang kerja sama saya seneng sama masakan saya.”

Abelle membeku di tempat. Kata-kata Ryan membuatnya ikut merasakan beban yang baru ia ketahui sekarang. Abelle tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat orang di depannya sedang menahan tangis.

Beberapa saat kemudian, Abelle tersadar. Apakah selama ini ia berperan sebagai orang yang merepotkan di kehidupan Ryan? Orang yang membebaninya? Kalau benar, Abelle akan diselimuti dengan perasaan bersalah. Ia benar-benar merasa bersalah. Ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia selalu saja merepotkan orang lain?

Abelle pikir mempertahankan pendapatnya tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang egois. Ia pikir memberitahu orang-orang tentang hal yang tidak disukainya membuat mereka bisa mengerti dirinya. Apalagi sesuatu itu tidak bisa diubah, seperti tidak bisa menahan keinginannya untuk makan di luar dan tidak suka sayur.

Abelle berpendapat selama ia masih sehat walaupun ia tidak makan sayur, maka ia akan baik-baik saja. Ia juga melihat banyak anak-anak yang tidak doyan sayur tapi masih bertumbuh. Pikirannya juga mengatakan, makan di lingkungan sekitar yang indah atau menarik akan membuat selera makan bertambah. Apalagi jika ia makan bersama teman-temannya. Maka dari itu Abelle lebih suka makan di luar dan ia benci makan sendirian.

“Maaf.” Satu kata keluar dari mulut Abelle.

Ryan menoleh setelah sedari tadi menunduk.

“Aku … salah. Maaf aku selalu ngerepotin Kak Ryan,” lirih Abelle pelan.

Ryan tak dapat berekspresi. Wajahnya datar, matanya sayu, dan tidak terukir senyuman di sana. Abelle tidak melihat Ryan, ia seperti melihat orang lain.

Between Jersey & Macaron (END✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang