Bab 13 Untuk yang Terakhir, Sungguh

Start from the beginning
                                    

“Kok bisa, sih?” Abelle masih tak percaya.

“Dicoba terus sampe lancar.” Tanpa bicara lagi Abelle langsung melatih lagi lemparannya itu agar bisa lebih cepat. Steven memperhatikannya sambil tersenyum samar.

“Coba sekarang merem,” suruh Steven. Abelle skeptis, pikirnya lemparannya bisa miring jika ia menutup mata.

Benar saja, lemparannya tidak masuk.

“Susah kalo merem. Tapi trik mu kayaknya cocok di aku.”

Setelah dua puluh menit dipenuhi hanya dengan latihan free throw, Abelle mulai lelah. Badannya mulai berkeringat dan tenggorokannya mulai kering, tapi sayang ia tidak membawa botol minum.

“Gimana? Tips dari aku ada gunanya juga ‘kan?” tanya Steven di tengah-tengah Abelle yang masih mengatur napas kembali normal.

“Boleh  juga,” jawab Abelle pendek.

“Oke, lima menit lagi kita three point, ya.”

Anehnya, kini Abelle nurut-nurut saja dengan omongan Steven. Padahal beberapa menit yang lalu hampir semua perkataan Steven tidak ia percaya karena Abelle melihat orang itu hanya sebagai laki-laki yang sok, tukang pamer, dan menyebalkan.

Tapi setelah ia menyentuh bola basket, pandangan Abelle terhadap Steven berubah. Abelle mengakui dalam hatinya bahwa Steven terlihat keren saat ia mulai bermain basket.

Sebenarnya, Abelle sudah terpesona saat pertama kali bertemu Steven, dan semakin terpukau karena trik melempar bola sambil menutup matanya itu.

Abelle belum pernah melihat orang lain melakukan itu sebelumnya.

“Yuk, three point!” Seruan Steven membuyarkan lamunan Abelle.

Setelah sadar, Abelle bergidik geli karena telah memikirkan hal itu di kepalanya.

“Pertama, kamu berdiri di—”

“Nggak usah ngarahin posisi berdiri, udah tau, kali,” ucap Abelle ketus.

Steven tertawa, “iya, iya, deh. Oke, pertama, pegang bola dengan posisi tangan begini.”

Sekali lagi Abelle menahan mode kepiting rebus dalam dirinya agar tak muncul di permukaan pipinya. Steven mengarahkan tangan yang memegang bola di atas kepalanya, mengarahkan posisi kaki, dan mencontohkan bagaimana harus melompat saat melempar bolanya.

“Ngerti?” Abelle menjawab dengan mengangguk.

“Sekarang, coba lempar.”

Abelle menghirup napas lalu menghembuskannya. Lemparan pertama, tidak masuk. Bolanya agak sedikit miring dari ring.

“Coba lagi.”

Lemparan kedua, gagal lagi. Tubuh Abelle agak berbelok saat melompat menyebabkan bola tidak masuk. Abelle menggerutu.

“Ayo, coba lagi.” Steven memberi semangat sambil mengarahkan.

Akhirnya, lemparan ketiga masuk. Abelle melayangkan tinju ke udara dan mengatakan, “Yes!”

Steven refleks ikut bersorak mendengarnya.

Setelah lima belas menit diisi dengan three point, akhirnya Abelle berhenti karena lelah. Ia mengatur napasnya.

“Gimana? Lumayan, ‘kan?”

“Ya, boleh lah. Semoga pas sparing aku bisa three point kayak tadi.”

“Pasti bisa! ‘Kan udah berguru sama pemain basket profesional.”

“Sombong,” balas Abelle sambil memutar bola matanya.

Between Jersey & Macaron (END✓)Where stories live. Discover now