16. Netra Cokelat & Degup Jantung

Start from the beginning
                                    

Mereka semua lalu serentak menatapku. Aku tidak tau harus melakukan apa selain memilih untuk langsung duduk di kursi yang masih kosong di depan Rama.

Tempat kami mengerjakan tugas kelompok ini hanya sebuah kafe yang sebenarnya memang dikhususkan untuk mahasiswa. Maksudku, jangan bayangkan kafe itu akan terlihat seperti coffeshop instagrammable yang sering digandrungi muda-mudi. Ini hanya kafe sederhana yang memang tujuannya untuk menjadi tempat mahasiswa mengerjakan tugas dengan fokus, bukan memenuhi kebutuhan sosial media, apalagi gaya-gayaan.

Alih-alih estetik, kursinya saja hanya kursi plastik yang sering dipakai di warung-warung bakso. Mejanya hanya meja kayu panjang yang ditutupi karpet berbahan plastik, ditambah menunya pun sederhana saja. Kopi susu, teh, roti bakar, mentok-mentoknya juga hanya ada mie instan rebus.

Berangkat dari sana, harusnya kalian sudah bisa membayangkan semalu apa diriku saat itu. Pakaian dan dandananku jadi terasa berlebihan, aku malu sekali apalagi setelah melihat penampilan tiga teman kelompokku yang juga perempuan—mereka hanya mengenakan kaos dan celana kain panjang sebagai bawahan.  Lalu Rama yang menjadi alasanku untuk berdandan seheboh ini lebih parah lagi. Dia bahkan terlihat seperti tidak mandi. Rambutnya acak-acakan, dia hanya mengenakan kaos oblong yang sedikit pudar, dengan celana pendek seadanya sebagai bawahan. Oh, bagus, Raina. Kau sepertinya salah kostum. Orang-orang akan mengiramu hendak menonton konser ketimbang hanya mengerjakan tugas.

"Tugasnya sudah hampir selesai. Kau hanya membuang tenagamu datang ke sini," celetuk Rama setelah menyeruput kopinya.

Mataku memicing saat menatap ke arahnya. Kenapa dia jadi tengil begini? "Setidaknya, kan, aku datang membantu juga."

"Kau mau bantu apa kalau tugasnya sudah hampir selesai?" balasnya lagi.

Aku menyengir, "Bantu berdoa."

"Itupun kalau doamu masih diijabah Tuhan."

Teman kelompok yang lain langsung tertawa. Aku malu sekali. Memangnya sesantai itukah dia sampai candaannya saja bisa membuatku gugup seperti sekarang ini? Aku tidak tau harus merespon apa, makanya sekarang aku terlihat seperti gadis dungu yang memang hanya menjadi pajangan saja di kelompok itu.

"Daripada kau hanya melamun tak tentu arah seperti itu, mending kau buatkan saja PPT- nya."

Aku menoleh ke arah Raka, berterima kasih dalam hati karena dia memberiku kesempatan untuk tidak terlihat seratus persen bodoh hari ini. "Boleh. Kebetulan aku juga bawa laptop, Ka."

Selanjutnya lelaki yang duduk di samping Raka berpindah duduk di sampingku, aku tidak tau namanya. Yang jelasnya dia membuatku tidak nyaman dan ingin cepat-cepat pulang karena bau ketiaknya seperti ingin membuatku terbunuh.

"Kubantu, ya?" tanyanya tepat di sampingku.

Aku hanya mengangguk sambil menahan napas, berdoa di dalam hati semoga saja nyawaku bisa bertahan sampai pengerjaan PPT ini selesai.

Sepanjang aku fokus mengerjakan PPT yang diminta Raka, aku masih bisa melihat salah satu teman kelompokku bernama Dina yang sepertinya paling sibuk di antara kami semua. Jika ada Rama dan Raka yang sibuk mengetikkan rangkuman materi dengan laptop mereka masing-masing, maka Dina—gadis berhijab ini ditugaskan mencari referensi di Google menggunakan iPad yang selanjutnya kuketahui sebagai miliknya Rama.

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now