5. Intens

19 2 0
                                    

Paginya setelah malam mencekam itu, aku dibangunkan dengan lantunan pengajian dari DVD, padahal itu masih jam 5 pagi, aku akui keluargaku jarang sekali mendengarkan Alquran, tapi entah kenapa pagi itu dan pagi-pagi sebelumnya ibuku sengaja menyetel lantunan ayat-ayat, setelah selesai mandi, kemudian makan, hari itu kebetulan adalah hari Minggu, libur sekolah, ibuku sedang menjahit kerudung ku waktu itu, aku duduk disampingnya, kami berada diruang tv.

"Bu, Ana takut." Perasaan takutku sudah tidak bisa ditahan, sejauh ini aku selalu mencoba bersikap biasa saja, padahal aku adalah anak kelas 6 SD, aku selalu mendoktrin diri kalau yang kulihat hanya halusinasi, tidak mungkin ada hantu, tapi sekarang aku ketakutan.

Ibu berhenti menjahit, dia menaruh kerudungku, "ibu juga.." aku kaget, disaat itu aku berpikir apakah ibuku juga dihantui, "ibu juga selalu merasa takut dirumah, kadang ibu juga melihat hal-hal aneh.."

"Ana juga.." lalu mengalirlah cerita aku dimulai hari ketujuh dan seterusnya, kebetulan disana juga ada kakak ku yang tengah menengok, aku benar-benar menjelaskan semuanya, ibu syok.

"Ini udah gak bener Bu, Hera panggil Abah dulu," ternyata kakak ku mendengarkan juga, dia langsung keluar rumah dan memanggil abah, ketua desa sekaligus kakek ku. Ternyata nenek atau kami memanggilnya Ema, ikut juga, lalu aku ditanyai oleh Abah tentang yang kulihat, akupun kembali menceritakan seperti yang kukatakan pada ibu, dengan detail.

"Sepertinya ada yang gak beres,.." setelah itu Abah masuk kedapur, kemudian berbisik pada Ema, seketika Ema keluar rumah dan pergi kerumahnya, aku tidak tau ada apa, Abah juga berbicara dengan ibu, aku tidak diperbolehkan mendengar, karena kakak ku menyuruh aku membawa Niken untuk jajan diwarung yang jaraknya jauh sekali, akupun menurut, jadi, aku tidak tahu apa-apa lagi.

Besoknya ayahku pulang, biasanya dia akan 2 Minggu di pertambangan, tapi sekarang baru 9 hari dia sudah pulang, aku gembira tentu saja, selain rumah yang akan ramai, setiap ayah pulang dia akan membawa banyak jajanan untuk ku dan Niken, meski dia adalah ayah tiri ku, dia teramat baik seperti ayah kandungku sendiri, ibuku menikah dengan ayah saat aku berusia 3 tahun

Malam harinya, Abah, Ema, saudaraku, bahkan kakak pun menginap, dirumah tengah diadakan Hamin , aku tidak tahu bahasa Indonesianya apa, tapi yang jelas itu seperti sesajen, semua anggota yang hadir membentuk lingkaran termasuk aku, ditengah kami ada beberapa piring makanan dan kopi-kopi, kemudian Abah tengah membaca doa, tapi tiba-tiba ibu berdiri. Dia melotot dan menginjak-injak lantai dengan keras, lantai rumahku adalah papan kayu, papan itu sampai sedikit melengkung kebawah akibat kuatnya tekanan dari kaki ibu.

"Astagfirullah.."

Ayahku menahan ibu, dia menariknya kembali duduk, suara Abah terdengar membacakan sebuah ayat atau doa, atau apapun, tiba-tiba ibu kejang, kakak ku, Ema dan beberapa saudara bahkan mencoba menahan ibu, dia kejang sambil memukul wajahnya, meskipun ada 3 orang yang menahan ibu, semuanya seperti terpental, ibuku mencekik dirinya sendiri, aku menangis, begitupun Niken, kakak ku memeluk aku dan Niken agar tidak mendekati ibu, wajah ibu terlihat berwarna abu-abu, urat-urat dileher dan tangannya begitu menonjol, Abah lalu berdiri dan menekan kuat pelipis ibu yang uratnya menonjol, disaat itu Abah berbicara, aku sama sekali tidak menangkap apa itu yang dibicarakan Abah, tapi ibuku terus berteriak.

"NISAN SAYA.."

Setelahnya ibuku langsung pingsan, dengan keringat ditubuhnya, aku masih menangis tidak mengerti dengan apa yang terjadi, setelah semua aman ibuku sadar, dia lalu menangis, ibuku bilang dia melihat dirinya sendiri yang ngamuk namun dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri, dia bahkan sadar saat memukul ayah dan bibi saat menahan ibu, kemudian Abah menjelaskan bahwa ada yang salah dipemakaman, malam itupun Abah, ayahku, dan pamanku pergi ke makam. Karena sudah malam, aku diharuskan tidur oleh kakak, dia pun tidur bersama ku.

Saat paginya, aku akhirnya tau kenapa kamu semua diteror dirumah, ternyata batu nisan dimakan abu tidak tertancap dengan sempurna, batu nisan itu miring, dan pelakunya adalah anak bungsu abu, yang histeris saat abu dimakamkan, beberapa saudara ayah juga berdatangan dipagi itu.

Setelah malam itu, rumah jadi terasa biasa lagi, aku tidak takut dirumah sendirian, tidak takut untuk kedapur, dan tidak ada sosok atau apapun lagi yang mengganggu, kami semua terbebas dari teror itu sampai sekarang.

.
Tamat



Author: "wah, serem banget cerita lo, saat kejadian berarti lo masih 11 tahun ya?"

Ana : "Iya, kelas 6, iya aku 11 atau 12 lah,"

Author :"Jujur gue speacleas banget, lo ngeliat hal-hal gitu, nah, Ana, ini kan lo yang diteror ya, itu untuk ibu lo, ada gak sih dia cerita pernah diteror apa enggak.

Ana :"Diteror udah pasti ya kak, karena biasanya kita gak dengerin musik pengajian gitu, tiba-tiba kayak solawatan, tadarus Qur'an disetel, biar anget kali rumahnya, cuman sampai sekarang, sampai waktu aku minta izin buat share cerita ini, nyokap gak cerita dia diteror apa aja, aku sih maklum, karena nyeritain cerita itu kayak bikin kita flashback lagi, bikin kita inget lagi sama kejadian itu, dan aku gak maksa nyokap buat cerita juga.

Author: "Iya sih, takutnya itu hal yang bikin trauma, tapi yang gue bisa dipastiin, teror yang dialamin ibu lo pasti lebih parah menyeremin.

Kemudian kami tertawa bersama....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 30, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

STORY TELLING HORORWhere stories live. Discover now