Azam yang ia kenal telah berubah.

"Tidak Putri, disaat aku mengutarakan perasaanku padamu itu awal hubungan kita terjalin. Namun bodohnya aku saat itu aku tak berani menyuruhmu untuk menungguku. Aku terlalu percaya diri kalau dirimu akan tetap menungguku meskipun aku tak menyuruhmu."

Putri mengepalkan tangannya. Menarik napas dalam-dalam. Cinta itu masih ada di hatinya hingga detik ini, tapi Putri sadar kalau cinta yang dia rasakan  adalah cinta yang salah, sulit baginya untuk menghapusnya yang bisa ia lakukan hanyalah menjaganya agar cinta itu tak menjurumuskannya pada hal-hal yang dibenci Allah.

"Semuanya sudah benar-benar berakhir, Kak. Allah mentakdirkan kita tak berjodoh." Ucap Putri sebelum berlalu dari hadapan Azam.

***

Keinginan membuat soto ayam menguap entah kemana. Putri lebih memilih duduk diam di atas ayunan yang terdapat di halaman belakang. Matanya menatap ke arah kolam ikan.

Kenapa rasa cinta itu ada? Kenapa rasa cinta itu sulit untuk dimusnahkan? Apakah cinta itu datangnya dari Allah atau dari hawa nafsunya semata? Sungguh Putri berharap rasa cinta itu segera sirna dalam hatinya. Sungguh menyakitkan, mencintai seseorang yang pada hakikatnya tak sepantas untuk kita cintai.

Sebegitu lemahkah imannya sampai-sampai perkara cinta di hatinya tak mampu ia kendalikan?

Putri beranjak dari atas ayunan saat mendengar suara mobil Kafka.

Dialah yang seharusnya kucintai. Batin Putri sambil melangkah menuju pintu utama. Ia buka pintu tersebut Kafka yang baru turun dari mobil tersenyum, namun senyum itu sirna saat melihat wajah murung Putri.

"Kenapa?" Tanya Kafka khawatir. Tadi pagi Putri terlihat baik-baik saja tapi kenapa sore ini wajahnya terlihat murung.

Putri mencium punggung tangan Kafka. "Tidak apa-apa Mas. Sini tasnya biar aku bawain." Putri mengambil alih tas kerja yang dipegang oleh Kafka.

"Kamu nggak enak badan?" Tanya Kafka saat keduanya telah berada  di dalam kamar. Ia membawa  tubuh Putri ke dalam pelukkannya, lantas menempelkan keningnya ke kening Putri. Tidak Panas. Suhu tubuh Putri normal.

Putri membalas pelukan Kafka. Ia melingkarkan tangannya di leher Kafka. "Aku tidak apa-apa Mas."

Kafka tersenyum. Ia kecup bibir Putri. "Tapi kenapa kamu terlihat murung. Apa ada sesuatu hal yang tidak membuatmu senang?"

Lagi-lagi Putri menggeleng. "Mas mau langsung makan apa mandi dulu? Tapi maaf hari ini aku nggak jadi bikin soto ayamnya."

"Kenapa?"

"Tiba-tiba nggak mood buat masak. Maaf yah Mas."

Kafka mencium pipi Putri gemas. "Tidak usah minta maaf. Kamu itu istriku bukan tukang masakku jadi masaklah bila memang kamu menginginkannya."

Putri tersenyum haru. Kafka sungguh baik padanya, Semenjak ia tak lagi mengkasarinya  Kafka tak pernah menuntut apapun pada Putri.

Perlahan Putri mendekatkan wajahnya ke wajah Kafka. Dan untuk pertama kalinya Putrilah yang memulai... ia mencium bibir Kafka. Dalam hati ia tak berhenti berdoa, doa yang paling sering ia panjatkan setiap harinya yaitu berharap Allah akan segera menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Kafka.

Kafka membalas ciuman Putri dengan lembut. "Aku sungguh mencintaimu." Ucapnya.

Putri menatap Kafka lekat-lekat. Ingin rasanya ia pun mengatakan kata-kata yang sama dengan apa yang telah Kafka ucapkan tapi lidahnya kesulitan untuk melakukan itu.

Tangan Kafka membelai pipi Putri. "Tidak perlu dipaksakan. Aku tahu kamu belum mampu mencintaiku tapi percayalah cepat atau lambat rasa cinta itu akan tumbuh di hatimu."

Putri mengamini perkataan Kafka.

"Oh iya aku punya sesuatu untuk kamu?" Kafka keluar dari kamar menuju garasi. Ia mengambil buket bunga dan sebuah kotak yang sudah dibungkus rapi dengan kertas kado berwarna lavender dari dalam mobil, setelah itu ia kembali ke dalam kamar. "Ini untukmu."

Putri mengerutkan keningnya. "Dalam rangka apa Mas ngasih kado dan bunga untukku?"

"Dalam rangka merayakan hari ulang tahunku."

Mata Putri membulat sempurna. Sungguh ia tidak ingat kalau hari ini hari ulang tahun Kafka. "Maaf Mas aku..."

Kafka tersenyum maklum. "Tidak apa-apa."

Putri berhambur memeluk Kafka. "Selamat ulang tahun suamiku semoga Allah memberikanmu umur panjang yang penuh akan keberkahan, selalu diberi kesehatan, dan kebahagiaan dunia akhirat."

Kafka membalas pelukkan Putri. "Aamiin. Terimakasih sayang." Ia kecup kening Putri dengan penuh cinta.

"Mas mau hadiah apa dari aku?"

"Kamu sudah menjadi hadiah terbaik dalam hidup aku. Jadi aku nggak butuh hadiah apa-apa lagi."

Wajah Putri bersemu merah. "Boleh aku buka hadiah ini, Mas?" Ia mengalihkan wajahnya ke arah kado yang Kafka berikan padanya.

Kafka mengangguk. Putri pun membuka kotak tersebut. Matanya membulat sempurna saat melihat isi dari kotak tersebut yang ternyata adalah tas branded yang harganya tentu sangat mahal.

"Kamu suka?"

Putri menggigit bibir bawahnya. "Bagus banget Mas tasnya tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku ngeri pas pakai tas ini tiba-tiba ada yang jambret."

Kafka mengerutkan keningnya, namun tak lama tawanya pecah. "Memangnya kamu mau pakai tasnya kemana? Ke pasar?"

Putri mengangguk polos. Kemana lagi kegiatan yang dia lakukan selain ke pasar jadi sudah tentu tas ini ada kemungkinan akan ia pakai ke pasar daripada tak dipakai kan mubazir.

Dengan gemas Kafka mencubit pipi istrinya. Ia lupa kalau istrinya beda sekali dengan para wanita yang pernah ia kencani, mereka wanita-wanita sosialita jadi ketika diberi hadiah tas mahal seperti ini mereka akan sangat senang bukannya merasa takut.

"Nanti tasnya dipakai saat menghadiri pesta saja. Kalau yang buat ke pasar nanti aku belikan yang lain."

Putri mengangguk patuh. "Oh iya Mas karena hari ini hari ulang tahun Mas, aku mau neraktir Mas. Kita makan diluar yah?"

Tentu Kafka tak menolak.

"Nanti pergi makannya habis salat isya yah," ucap Putri penuh semangat.

TBC

17 Muharram 1445H

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now