47. Penyelesaian dari Salah Paham

ابدأ من البداية
                                    

Menyadarkan Alvina jika memang tak ada yang mengharapkan kehadirannya.

🌷🌷🌷

Alvina masih berada di kelasnya walaupun bel pulang sudah berbunyi sedari tadi. Alasannya sudah pasti, orang yang ditumpanginya sedang rapat di Ruang OSIS. Kesal juga sebenarnya. Mengapa ia tidak pernah dibolehkan untuk pulang sendiri?

Kini gadis bernama lengkap Alvina Alya Alexandrina itu sedang meneliti buku berwarna biru yang sering dibawanya belakangan ini. Berpikir apakah ini saat yang tepat untuk mengembalikannya. Gadis pemilik buku itu mungkin saja sudah pulang, jadi ia bisa meletakkannya di tempat semula ia mengambilnya.

Tanpa sengaja matanya menatap ke arah jalan setapak di samping lapangan. Bukankah itu Lala? Mengapa dia belum pulang?

Alvina mengalihkan pandangannya. Mulai berpikir untuk berbicara langsung kepada Lala. Selama ini, dia hanya mampu menyimpan rasa irinya dalam diam. Bukankah lebih baik untuk berbicara kepada orang yang sejauh ini menjadi objek kecemburuannya? Dia tak ingin semakin membenci gadis itu.

Setelah memantapkan niat, Alvina melangkah menuju toilet di gedung IPA. Melihat arah Lala melangkah, tak ada lagi tujuan selain ke sana. Kantin sudah tutup saat ini.

Alvina berhenti sebentar di depan pintu kamar mandi. Berpikir apakah ia harus mengetuk pintu atau tidak. Dia merasa tidak sopan jika masuk tanpa mengetuk. Namun, apa gunanya mengetuk pintu toilet yang merupakan fasilitas umum?

Terlalu lama berdebat dengan diri sendiri membuat Alvina kesal sendiri. Dia membuka pintu dengan keras. Membuat seseorang yang berada di dalam terkejut.

"Alvina?" panggil Lala pelan. Gadis itu masih berusaha menetralkan detak jantungnya yang terpacu akibat keterkejutannya tadi.

Alvina berdiri di depan Lala dengan napas yang terengah-engah. Persis seperti banteng yang melihat warna merah. Jika dianimasikan, mungkin ada asap yang keluar dari hidungnya sekarang.

Alvina melemparkan sebuah buku yang ditangkap oleh Lala. Gadis pecinta warna biru itu meneliti buku apa yang baru saja dilempar. Kemudian terukirlah senyum di wajah gadis itu.

"Jadi lo yang nemuin buku ini," kata Lala lega. Gadis itu bersyukur yang menemukannya adalah Alvina.

Alvina tercengang. Mengapa gadis itu bisa begitu santai? Bahkan setelah semua yang terjadi padanya, gadis di hadapannya masih bisa tersenyum.

Alvina kira, Lala akan melimpahkan semua padanya. Rumor buruk itu, apa Lala tidak curiga kepadanya? Tidakkah gadis itu setidaknya mengintimidasinya walau sedikit?

"Kayaknya lo bahagia banget ya. Bahkan setelah semua yang terjadi sama lo, lo tetep bisa senyum." Sayangnya, ego gadis itu sungguh tinggi. Alvina enggan memberi kepercayaan pada Lala untuk kedua kalinya.

Melihat Lala hanya tersenyum, Alvina melanjutkan, "Gue udah baca buku itu. Dan liat betapa bahagianya hidup lo."

"Kenapa? Kenapa lo selalu beruntung, La?!" Rahangnya mengeras, tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.

"Dari dulu, gue selalu dibandingin sama lo. Orang tua gue selalu pengen punya anak kayak lo. Gue udah berusaha, La. Gue udah berusaha bisa sebaik lo! Tapi gue nggak bisa. Tiap hari gue belajar lebih dari delapan jam sampai kurang tidur. Tapi apa? Gue sama sekali nggak bisa kayak lo. Gue benci kenyataan itu. Gue benci saat orang tua gue sendiri merasa nyesel punya anak kayak gue."

Masih dengan menatap Lala, tangisnya meluruh. Rasanya sakit mengingat betapa bahagianya ibunya saat membahas prestasi Lala. Betapa inginnya ibunya memiliki anak seperti Lala.

A Reasonحيث تعيش القصص. اكتشف الآن