Bab 11 Kecewa yang Tersembunyi

Start from the beginning
                                    

Abelle takut jika perasaan malu itu muncul. Saat ia membawa kotak bekal ke sekolah dan kebanyakan teman-temannya selalu jajan di kantin setiap hari untuk makan siang. Ia takut ditertawakan dan dijadikan bahan bercandaan. Ia takut kedua teman dekatnya juga akan menertawakannya.

Abelle berjalan keluar kamar dan langsung mendapati hidungnya mencium aroma roti bakar. Ia langsung menuruni anak tangga dalam kondisi belum mandi.

“Mama lagi buat roti— eh?”

“Pagi, Abelle,” sapa Ryan, “ya ampun, kamu belom mandi?” Ryan tertawa melihat rambut kucel dan muka bantal Abelle. Abelle buru-buru merapikan rambutnya.

“Mama kemana?”

“Tadi ada meeting mendadak sama klien katanya.”

“Nih roti bakarnya udah jadi, mau sarapan dulu?” Ryan menaruh sarapan itu di atas meja makan.

“Ehm … Aku mandi dulu, deh.” Abelle langsung kembali ke atas untuk mandi. Ia kembali turun setelah mandi tak lebih dari lima menit.

“Enak,” komentar Abelle singkat setelah menghabiskan satu porsi roti bakar.

“Tumben langsung bilang begitu sebelum saya tanya,” cibir Ryan. Abelle tersenyum tipis.

“Eh, kamu pake baju rapi gitu mau kemana?” Raut wajah Abelle menjadi lebih ceria.

“Mau keluar bentar, jalan-jalan. Ikut, yuk, kak. Aku traktir, deh.” Ryan tersentak mendengar perkataan Abelle.

“Tapi ini ‘kan saya lagi kerja, kamu nggak liat?” Senyumnya memudar.

“Eh, iya juga. Kenapa Kak Ryan ada di sini hari Minggu?”

“Kemaren saya minta sama mamamu masuk full seminggu, dan katanya boleh, banget malah. Terus ya udah, saya hari ini masuk tapi cuma setengah hari.”

Abelle ber-ohh karena ia tidak diberitahu ibunya soal ini.

“Tadi kamu bilang mau traktir? Berarti kamu mau makan di luar, gitu?” Nada bicara Ryan tak seramah tadi.

“Eh, iya …”

“Kamu lupa kemaren mamamu bilang apa? Nggak boleh jajan lagi dan mulai besok kamu bawa bekel ke sekolah. Baru aja dibilangin, udah mau jajan lagi.”

“Tapi kemaren Mama ngasih aku kesempatan terakhir. Katanya aku boleh makan di luar sekarang, besok dan seterusnya udah nggak boleh lagi. Aku cuma pengen ngajak Kak Ryan santai bentar nggak boleh?” Abelle tak terima ia dibilang seperti itu oleh Ryan. Ia mendengarkan ibunya, ia akan menaati perintah ibunya. Tapi ini untuk yang terakhir kalinya, setelah itu Abelle berjanji tidak akan jajan atau makan di luar lagi.

Ryan tertawa sarkas, “santai? Tsk. Kamu nggak boleh bilang gitu ke orang yang lagi kerja, Abelle. Saya bela-belain kerja full seminggu supaya bisa dapet bonus, saya kerja di sini buat masakin tuan rumah, tapi sekarang tuan rumahnya ngajak saya makan di luar?”

“Ya emang kenapa? Nggak boleh?” Abelle meninggikan suaranya.

“Saya ini chef, saya bisa buat apapun yang mau saya makan. Makanya saya nggak perlu keluar uang buat beli makan, justru saya bakal dapet duit karena saya ini chef.”

“Bilang nggak mau aja kok susah banget! Ya udah, aku pergi sendiri aja.”

Abelle mengambil tas nya dan melangkah keluar dengan menghentakkan kaki. Ia menutup pintu kasar. Ia membuka gerbang dan menutupnya dengan keras. Ia marah dalam hatinya. Niat baiknya ditolak begitu saja. Ini adalah kesempatan terakhir yang tadinya ia harap bisa ia nikmati bersama orang lain karena ia benci sendirian. Tapi orang itu tak menghargai kesempatan terakhir ini.

“AKH!!” Ryan berteriak kesal dan mengacak rambutnya.

Ia melepas celemeknya kasar ke lantai. Ryan mematikan kompor yang sedang merebus sesuatu. Ia bekerja keras demi membahagiakan kedua orangtuanya di rumah. Pekerjaan pertama yang awalnya membuat ia semangat, ternyata tak semua sesuai harapannya. Ia merasa direndahkan jika ada seseorang yang berbuat seperti itu padanya. Hati kecilnya tak kuat menahan sayatan dari perkataan orang-orang yang merendahkan dirinya sebagai seorang ahli memasak. Trauma itu merasuk kembali ke dalam dirinya. Saat banyak orang yang meremehkan Ryan ia bisa menggapai mimpinya.

Abelle mengalihkan perhatiannya dengan membuka sosial media di ponselnya. Ia menemukan ada sebuah kafe baru bertema vintage. Perjalanannya tiga puluh menit dari tempat tinggal Abelle. Abelle pun menuju kesana dengan menaiki bus. Ia tak peduli, ia ingin pergi sejauh mungkin untuk saat ini. Beberapa menit berlalu, Abelle turun dari bus untuk transit dengan bus lain. Akhirnya lima belas menit kemudian, Abelle turun di halte di depan sebuah perumahan. Kafe itu terletak di dalam perumahan tersebut. Abelle memutuskan untuk berjalan sekaligus melihat-lihat pemandangan perumahan.

Abelle terkejut saat melihat ada lapangan basket di dalam perumahan itu. Ia teringat akan memori saat ia bermain basket bersama Papa di lapangan basket di dekat rumahnya yang dulu. Abelle cepat-cepat memikirkan hal lain, ia tak mau bersedih-sendu kali ini. Banyak orang yang sedang bermain di sana. Abelle jadi ingin ikut bermain, tapi perutnya yang lapar memilih untuk makan terlebih dulu. Ia berjalan melewati lapangan itu sedetik sebelum ada suara yang sepertinya memanggilnya.

“Woi!”

“Woi! Hello??” Setelah dipanggil dua kali barulah Abelle menengok. Ia kira bukan dirinya yang dipanggil orang itu.

“Eh, bener! Itu cewek kemaren.”

“Steven sini, sini!”

Deg. Steven katanya?

Ini gerombolan Steven yang menyebalkan waktu itu?

Sial.

<><><>

Hellloo! BJAM balik lagi nihh! Gimana, gimana? Kali ini Abelle ketemu lagi sama Steven 👀 Bakalan ada apa yaa? Pantengin terus yaa! ✨

Jangan lupa vote ⭐ dan komen 💬 yaa, thanks! ><

Jangan lupa vote ⭐ dan komen 💬 yaa, thanks! ><

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Between Jersey & Macaron (END✓)Where stories live. Discover now