"Yeah, Eru, tapi mereka keras kepala dengan ego mereka sendiri." Kata-kata Cecelia seperti memberikan kobaran energi, membuatnya terlihat langsung bersemangat di kala pagi ini. Ya tuhan, dia seakan sudah ingin melompat-lompat dari pinggiran pantry tempatnya kini menyandarkan tubuh.

"Ego ... hmm ..., berbicara ego ... sebesar apakah ego 'Raksasa Dunia'?" celetukku.

"Tiada dua raja yang duduk berkuasa dalam satu kerajaan. Mereka saling berebut 'tahta' sebagai Penguasa Dunia" sahutnya cepat.

"Tapi Jepang pernah punya dua penguasa, Kaisar dan Shogu—"

"—Eruuuuu, stop. Kau merusak suasana—"

Melihat kejengkelan Cecelia, tiba-tiba aku memikirkan sebuah kejahilan kecil.

"Kerajaan Bhutan punya dua kepala negara—"

"Erucakra." Kali ini ia mencoba menatapku serius. Aku mengangkat tanganku tanda menyerah. Namun, dalam pikiranku aku masih tidak menyangka dapat melihat pemandangan jengkel yang tidak biasa dari seorang La Spazia. Ia tidak pernah menampilkan wajah jengkel seperti itu di hadapan para pendebatnya. Mereka hanya mendapatkan—entah itu—statapan dingin atau tatapan nanar, seolah mendobrak keinginanmu untuk menantangnya adu debat lebih jauh. Keluarga La Spazia memiliki kedigdayaan ilmuwan yang sangat tinggi. Bisa dibilang, orang tua Cecelia-lah yang mempostulatkan sebuah Teori Jagat Majemuk irregular yang begitu radikal.

Mungkin, ini adalah keberuntungan yang jarang orang dapatkan.

"Kalau begitu, kenapa Amerika dan Russia tidak memerintah kerajaan dunia bersama-sama saja? Mereka adalah negara adidaya, dijuluki Raksasa Dunia, memiliki kapabilitas yang lebih dari cukup untuk melanggengkan perdamaian manusia," lanjut Cecelia yang kini berusaha untuk mengembalikan ketenangannya.

"Kalau itu terjadi, perang ini tiada pernah terjadi. Lagipula, sejarah umat manusia juga dimulai dengan konflik saudara yang menumpahkan darah sesama saudaranya sendiri. Konflik dan perang adalah kutukan bagi umat manusia," jawabku, yang entah kenapa membuat Cecelia terdiam.

Lama.

Seolah kami berdua seperti berkontempelasi atas jawabanku sebelumnya.

Konflik adalah kutukan umat manusia.

Entah mengapa kata-kata itu seperti tergaung dalam pikiranku untuk sejenak. Kalau dipikir-pikir lagi, membunuh adalah dosa kedua manusia setelah pembangkangan—ketiga apabila iri dengki dimasukkan sebagai dosa awal manusia.

Ketika Cain membunuh Habel, begitulah sejarah pertumpahan darah bermula. Manusia tiada akan dapat lepas dari kutukannya.

"Eru."

"Hmm?"

"Menurutmu, apa yang kita perjuangkan selama ini ... mampu untuk menghentikan seluruh konflik yang ada di muka bumi ini?"

Pertanyaan yang sulit, membuatku langsung mengarahkan pandangan pada Cecelia. Pandangannya kini menuju pandang ke arah lantai. Lantas, aku menganga menjatuhkan daguku.

Tidak biasa Cecelia ragu seperti ini?

Aku berusaha menyelidik Cecelia. "Menurutmu?"

Cecelia mengedikkan kedua bahunya sebelum menjawab, "Aku membuat kalkulasi untuk sebuah probabilitas irregular, ketika proyek besar ini berhasil."

Aku mengulangi jawaban Cecelia dalam kepalaku. Walhasil, aku menepuk dahiku sampai terdengar suaranya yang cukup keras untuk terdengar sebagai sebuah tamparan.

"Baru sekarang kau mencemaskannya, La Spazia?? Segera setelah 'propeler kolosal' itu sudah separuh jadi di tengah antah-berantah Pegunungan Andes, baru sekarang kau mencemaskannya???" gerutuku.

"Aku telah meneliti setiap probabilitas yang akan terjadi, setiap klausul sebab-akibat yang ditimbulkan apabila proyek kita berhasil. Yah, probabilitasnya tidak nol, mendekati satu malah," lanjutnya dengan nada masygul.

"Tentu saja, anomali karena badai matahari saja bisa membuat satu bumi panik, apalagi ini??" sungutku jengkel.

Cecelia hanya terkekeh, seraya berujar, "Well, Eru. Mari kita anggap ini seperti dua bocah lelaki saling berkelahi untuk memperebutkan siapa yang pantas untuk seorang gadis yang mereka berdua telah lama kenal, kemudian gadis itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak, sehingga membuat kedua bocah itu saling bekerja sama untuk menemukan sang gadis."

"Analogi macam apa itu? Sepertinya kau terlalu banyak nonton film animasi."

"Tidak ada yang salah dengan menonton film animasi, bukan? Lagipula, sejak Perang Dingin Kedua meletus, kualitas dunia hiburan global turun drastis." Cecelia berkacak pinggang seraya menatapku dengan tatapan sedikit kesal.

"Propaganda, propaganda, dan propaganda, seakan-akan masyarakat dunia disuapi oleh hal-hal yang konyol!" lanjutnya dengan ekspresi penuh dengan berapi-api. Seakan-akan ia tidak ingin hari-harinya diisi dengan hal-hal suram, seperti siapa yang memenangkan pertempuran di mana, atau daerah mana yang terdampak perang proxy antara Para Raksasa.

Mungkin saja analogi Cecelia benar adanya. Dibutuhkan tragedi yang begitu kolosal, hingga Kedua Raksasa menyadari, bahwa mereka harus segera menyelamatkan umat manusia. Kalau memang 'Proyek di Tengah Pegunungan Andes' ini berhasil—seperti analogi Cecelia—maka aku dan dia akan menjadi orang selanjutnya yang akan melantunkan isi dari Bhagawadgita, setelah Robert Oppenheimer.

Kini kami menjadi Sang Kematian, pembinasa Sang Mayapada.

Bagaimana pun, Cecelia bukanlah manusia super yang mampu untuk mendobrak paradigma baru di bidang Astrofisika secara ajaib. Lima tahun aku bersama Cecelia, telah kusaksikan perjalanan dan perjuangan dia dalam meraih keinginannya.

Ia menginginkan pembuktian.

Selama hidupnya, ia selalu berhadapan dengan tantangan, rintangan, kecaman, bahkan kegagalan. Namun, Cecelia tidak pernah mundur. Meski ia menghadapi tembok raksasa setinggi langit, ia akan tetap mencoba memanjatnya. Meski ia harus jatuh berkali-kali, ia tidak akan pernah menyerahkan keingintahuannya begitu saja.

Sepintas aku teringat kala diriku melihat Cecelia 'tenggelam' dalam kesungguhannya. Ruang kerjanya sudah tidak tampak lagi seperti ruangan seorang pemimpin Astronom Baru. Meja kerjanya penuh dengan tumpukan kertas dan tumpukan file berisi catatan simulasi. Bahkan, saking banyaknya, ia membuat tembok ruang kerjanya tertutup oleh catatan-catatan perhitungannya. Diagram, grafik, deretan matriks dan tabel angka, serta catatan simulasi memenuhi jengkal demi jengkal dinding ruangannya. Kau dapat mendengar desingan suara superkomputer yang mengkalkulasi simulasinya, atau decitan printer dot-matrix yang tiada hentinya mencetak hasil simulasi. Dalam ruangan itu, terkadang aku menemukan Cecelia duduk tertidur di antara tumpukan kertas yang memenuhi mejanya.

Di balik ekspresi yang terlihat tenang dan easy going itu, dibalik tingkahnya yang selalu tidak dapat ditebak itu, terdapat dedikasi yang tinggi dengan apa yang dia dan diriku kini tengah bangun.

Kita akan akhiri perang konyol ini bersama.

Bersama-sama, umat manusia akan mengarungi pengembaraan panjang mereka ke angkasa jauh. Kita adalah orang yang akan memulai pengembaraan panjang itu.

"Cecy,"

"Hmm?"

"Apa yang sungguh kauinginkan dari perjalanan jauh itu. Dalam titik bawah sadar terdalam yang paling jauh, apa yang kauinginkan dari hati kecilmu?" tanyaku. Cecelia tidak langsung menjawab. Ia terlihat termenung, sesekali ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

Masih memandang jendela, ia berucap, "Kucurahkan seluruh hidupku untuk membuktikan, bahwa apa yang dicetuskan oleh Papa dan Mama adalah sebuah kemungkinan yang mampu diraih dari kemustahilan."

Cecelia hanyalah satu dari sekian banyaknya umat manusia yang ditimpa kemalangan akibat kekejian dari peperangan. Ada banyak hal berharga yang direnggut dari hidupnya. Keinginanku hingga kami berdua sampai sejauh ini adalah menghentikan Raksasa Dunia untuk saling berperang, sementara Cecelia ...

"Karena dengan itulah, mereka akan selalu hidup dalam warisan umat manusia ke depannya." Ia kemudian berpaling menatapku.

Cecelia jauh melampaui apa yang manusia di zaman penuh derita ini inginkan. Ia bermimpi besar dan ia akan meraih mimpinya.

Akan aku pastikan ia meraihnya.

*_*_*_

EVENT HORIZON : All Quiet Under Distant Skyحيث تعيش القصص. اكتشف الآن