24

672 36 0
                                    

Larine baru tiba di Paris setengah jam yang lalu. Suasana sunyi langsung menyerbunya saat masuk ke dalam rumah.

Ia menatap lama kamar Sena lalu melangkah dan mematung di depan pintu. Rasa rindu dan kehilangan membuatnya kembali menangis.

"Putriku... tolong jangan ambil putriku. Dialah milikku satu-satunya".

Racau Larine di sela-sela tangisnya. Ia memukul dadanya berulang kali agar rasa sakit itu pergi. Perlahan tangannya memutar kenop pintu dan aroma tubuh Sena langsung menyergap hidungnya.

Semua masih sama seperti terakhir kalinya mereka pergi ke rumah sakit. Hanya saja Sena tidak ada di sini. Larine meraih boneka kesukaan Sena dan memeluknya erat.

"Aku mohon Tuhan, kembalikan putriku. Tukar nyawaku dengannya. Apa alasan aku hidup sekarang?".

Larine meluruh ke lantai dan meraung keras. Ia tidak peduli jika orang lain akan mendengar itu atau bahkan menganggapnya gila. Ia hanya ingin mengeluarkan semua yang sudah ia tahan sejak malam Sena menghembuskan napas terakhir.

"Sena...kembalilah sayang. Ibu sangat merindukanmu. Maafkan ibu sayang...tolong kembalikan putriku".

Frank baru turun dari mobil. Ia mengetuk tapi tidak ada sahutan. Ia mencoba membuka pintu dan ternyata itu tidak terkunci. Begitu kakinya menginjak lantai marmer sayup ia mendengar tangisan Larine yang pilu.

Buru-buru Frank mencari sumber suara dan ia melihat pintu kamar Sena sedikit terbuka. Dugaannya Larine ada di sana.

Ketika ia berdiri di depan pintu, matanya langsung melihat tubuh Larine yang terkulai di lantai dengan memeluk boneka Sena dan menangis.

Tanpa aba-aba Frank langsung mendekat dan memeluknya erat.

"Aku di sini...".

Tangis Larine semakin keras dan memilukan. Tak ada kata yang bisa Frank ucapkan untuk menghiburnya karena memang otaknya buntu. Ia hanya bisa mendekap erat tubuh Larine.

"Tolong kembalikan Sena padaku. Apa kesalahanku? Kenapa harus aku yang kehilangan? Kehilanganku sangat banyak... ini tidak adil untukku Frank. Aku harus hidup untuk apa? Untuk siapa?".

Jeritan Larine menyayat hati Frank. Ia pernah melihat banyak kesedihan dari orang yang dtinggalkan tapi kesedihan Larine terasa berbeda untuknya. Ia hanya merasa sakit yang teramat sangat dari arti kehilangan.

"Aku tahu ini berat tapi kau juga harus memperhatikan dirimu. Sena pasti sedih melihatmu seperti ini Lar... Aku mohon dengarkan aku ".

"Tidak Frank! Lepaskan aku! Biarkan aku sendiri. Aku ingin pergi menemui putriku. Aku tidak punya alasan lagi untuk hidup di dunia ini!".

Frank menangkup wajah Larine dan menyeka air di matanya. Perlahan bulir air mata keluar dari sudut matanya yang dingin.

"Masih ada aku di sini. Aku ingin kau melanjutkan hidupmu bersama denganku di sisimu. Aku tidak perlu menjelaskan lagi siapa dirimu untukku bukan? Maka, mari pegang tanganku dan berdiri. Kau harus bisa melewati ini. Aku mencintaimu dan apapun tidak akan bisa menghentikan aku".

Larine tidak bergerak sama sekali. Kepalanya berdengung hebat. Setiap kalimat Frank terasa berat untuk dicerna. Tapi satu hal yang ia lihat dimata pria itu adalah kejujuran dan keikhlasan.

Lalu, tiba-tiba saja ia ingin menutup mata. Dan... Larine pingsan di depan Frank.

Dengan panik Frank membawanya ke rumah sakit. Ia sudah tidak memikirkan istrinya lagi. Ia bahkan tidak takut kali ini jika Elena akan mengetahui segalanya.

"Ia hanya kelelahan. Aku telah memberinya suplemen melalui cairan infus ini. Setelah cairan infus habis, ia akan baik-baik saja. Permisi!".

Itu adalah perkataan dokter yang menangani Larine di unit darurat. Frank mengangguk dan menggenggam tangannya. Jari jempol Frank menyusuri garis mata Larine seolah sedang menyeka air matanya.

SECOND HOME (TAMAT)Where stories live. Discover now