"Rumah Papa rumah kamu juga Jo," kata Papa lirih.

"Tidak pernah sejak aku lahir," sahut Jo tanpa ekspresi.

Papa Devan menghela nafas berat. Ia tau kalau ia sudah membuat satu kesalahan besar yang tak termaafkan. Menyakiti hati anak kandungnya sendiri, dari wanita yang ia sangat cintai.

"Rissa pasti akan sering nengokin Papa, Pa," janjiku pada pria tua itu. Wajah murung nya sedikit berbinar mendengar janjiku. Senyumnya mengembang.

"Papa akan tunggu kedatanganmu, Rissa. Juga kamu Jo," sorot mata Papa Devan terlihat sangat mengharap.

"Iya Pa, Rissa janji," aku memeluk Papa dan melemparkan tatapanku pada Jo yang berdiri mematung di sampingku.

"Ya sudah, Papa pulang dulu. Jaga kandunganmu baik-baik, Ris. Dan kamu Jo, tolong jaga Clarissa dan kandungannya," Papa menatap memohon pada Jo. Jo membuang muka.

"Aku sudah menikahi Cla, jadi sudah tanggung jawabku menjaganya. Dan aku tidak akan meninggalkan atau membuang anak yang akan dilahirkannya kelak. Jadi tidak perlu khawatir, Pa!" Jo menatap tajam Papa Devan. Matanya tampak melecehkan.
Sorot mata Papa Devan berubah murung. Rasa bersalahnya muncul lagi kepermukaan.

Kulihat Papa Devan menunduk, lalu berbalik berjalan keluar gedung.
Kupandangi punggung renta yang semakin menjauh itu.

"Tidak seharusnya kamu bicara seperti itu pada Ayahmu, Jo," tegurku menatap Jo.

"Lalu aku harus berbicara manis padanya?" sahut Jo acuh.

"Bagaimanapun dia Papa mu. Yang membuatmu hadir di dunia ini," aku menatap rahangnya mengeras. Aku tidak peduli jika ia marah padaku. Sikapnya sudah keterlaluan.

Jo menoleh menatapku tajam.
"Aku tidak pernah menginginkan dilahirkan dari garis keturunannya! Dilahirkan untuk disingkirkan, lalu dipungut lagi untuk mempertahankan nama baiknya, menutup aibnya!" desis Jo marah. Matanya nyalang menyambarku.

Ini hari pernikahanku dan Jo, tapi aku sudah membuatnya marah. Tidak seharusnya aku ikut campur dalam masalahnya. Jo menikahiku hanya untuk memberi status pada anakku. Agar anakku tidak disebut anak haram!

Aku tidak tega melihatnya membentak, mengacuhkan orang yang sudah mengukir jiwanya, hingga ia hadir di bumi ini. Papa Devan tidak akan mungkin membuangnya. Apalagi Jo lahir dari rahim perempuan yang sangat dicintai Papa Devan. Pasti ada alasan Papa melakukannya.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Aku menggeliat sambil mengerjapkan mataku. Ini pagi pertama aku menjadi istri Jonathan Fresco Kaindra.
Kemarin Jo menyuruhku untuk tidur duluan karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Aku tidak tau apa itu, karena aku tidak mau ia marah-marah lagi karena aku ikut campur urusannya.

Kulihat tempat disebelahku tidur kosong. Tidak ada bekas ditiduri. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Jo tampak terpejam bersandar di sofa. Ia duduk sambil menengadahkan kepalanya di sandaran sofa, kakinya terjulur diletakkan di atas meja, sementara di dekat kakinya, laptop hitam nya tampak tertutup.
Perlahan aku berjalan ke kamar mandi. Kuraih ponsel yabg semalam ku charge di stop kontak dekat wastafel. Jam delapan pagi. Perutku terasa lapar.
Setelah membersihkan diri, aku keluar dan menuju ke meja. Tidak ada secuil makanan pun. Yang ada hanya air mineral dan beberapa sachet kopi, krimer, teh dan gula.
Kutuang sebotol kecil air mineral ke dalam heater. Sambil menunggunya mendidih, aku membangunkan Jo.

"Jo, bangun. Jo," aku sedikit mengguncang bahu nya.

Jo menggeliat dan meringis, memegang tengkuknya yang pasti sangat pegal karena semalaman tertidur dengan posisi duduk.
Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Sincerity of LoveWhere stories live. Discover now