(06) Pelanggan Pintar

15 5 0
                                    

Happy reading:)











Pintu kedai terbuka, Haechan datang dengan wajah riangnya. Jeno yang menyadari kedatangannya memperlihatkan senyumannya sebagai sambutan. Usai memakai apron Haechan berdiri di sampingnya.

"Kau datang lebih cepat,"

Haechan mendekatkan dirinya ke Jeno lalu berbisik, "sebenarnya kemarin-kemarin aku mampir ke cafe dulu."

"Ah begitu, omong-omong aku sudah membeli ponsel." Jeno mengeluarkan ponselnya dari laci meja.

"Wah usahamu laris keras ya, lihat ponselnya." Haechan menerima ponsel Jeno. Matanya semakin melebar kala menyadari ponsel Jeno lebih bagus dari miliknya.

"Tidak, aku baru mendapatkan satu pelanggan."

"Hah? Lalu bagaimana bisa kau membeli ponsel mahal ini?" Haechan tak habis pikir, sudah dibuat terkejut ditambah bingung.

"Pelanggan pertamaku itu sepertinya kaya raya, tanpa menghitung dia langsung memberiku banyak uang." Mengingat raut kesal Chenle membuatnya terkekeh.

"Sepertinya tak lama lagi kau akan menjadi kaya karena usahamu itu." Ujar Haechan.

"Semoga saja, agar aku bisa mentraktir mu, oh ya tolong login kan akun dan sebagainya di ponselku, aku tak mengerti caranya."

"Baiklah, kau harus punya nomor agar bisa dibagikan ke para gadis."

Jeno tertawa kecil lalu menyambut dengan senyumannya pada seorang pelanggan yang memesan.

*
*
*
*
*

Karena perintah dari Irene yang mengatakan pulang cepat tempo lalu, Jeno kini selalu pulang ketika matahari hampir melarikan diri. Sinar jingganya menerpa seluruh permukaan tanah.

Langkah Jeno terhenti. Pandangannya tertuju pada seorang pemuda berambut pirang sedang berdiri dua meter dari pintu rumahnya. Ia mendekat perlahan hingga pemuda itu menyadari eksistensinya.

Dua pasang mata itu bertemu. Saling menyelami manik kelam masing-masing. Jeno tertegun, sosok dengan wajah sempurna yang disinari cahaya jingga matahari itu membuat perasaanya terasa aneh. Ia menarik paksa kesadarannya lalu bertanya pada pemuda itu.

"Ada yang bisa ku bantu?"

Pemuda itu terlihat gugup, "kau pemilik rumah?"

Jeno mengeluarkan senyumnya agar setidaknya kegugupan pemuda itu sedikit luntur. Sebagai jawaban ia mengangguk.

Tangan yang halus dengan jari-jari lentik itu menunjuk papan kayu lusuh di atas pintu rumah Jeno. Melihatnya Jeno langsung paham maksud kedatangannya.

"Ah mari masuk dulu, cuaca sedang dingin sekarang."

Dua pemuda tampan itu masuk. Jeno mempersilakan pelanggannya itu untuk duduk terlebih dahulu. Sedang si pemilik rumah membuatkan teh hangat.

Pemuda berambut pirang itu memangku tasnya lalu takut-takut melirik seluruh sisi ruangan hangat ini. Beberapa saat kemudian Jeno datang membawakan dua cangkir teh dengan nampan di bawahnya.

Satu cangkir teh ia letakkan di hadapan pemuda itu lalu teh lainnya diletakkan di sisi samping lengannya. Tentu Jeno tak melupakan senyum manisnya dan berkata, "minumlah sebelum kau ceritakan masalahmu."

Diminum lah teh hangat itu untuk membasahi kerongkongannya. Rasa teh yang hangat dengan manis yang tak kentara. Tak buruk, pikirnya.

"Aku Lee Jeno, siapa namamu?"

"Na Jaemin." Jawabnya pelan.

"Baiklah Jaemin, kau bisa menceritakan masalahmu dan juga kau tak perlu gugup, buat dirimu nyaman."

Jaemin menatap lurus manik kelam Jeno. Ia seperti menyiratkan sesuatu yang Jeno maupun dirinya tak mengerti. Perasaan aneh sama-sama keduanya rasakan. Namun senyum manis Jeno seakan menyimpan sihir yang membuatnya perlahan-lahan menjadi nyaman.

"Teh buatanmu tak buruk," ucapnya masih dengan menatap mata Jeno.

"Aku bisa membuatkanmu lagi jika kau mau."

Ucapan itu terdengar tulus di telinga Jaemin. Ia berdeham, "di sekolah aku terkenal karena kepintaranku dan dicap sebagai kebanggaan sekolah. Semua orang menyapaku dengan ramah tapi aku tak bisa berteman dengan mereka. Aku terlalu kaku dan tak bisa bergaul, orang tuaku menyarankan untuk ikut ekskul drama, terlambat memang untukku yang kelas akhir ini mengikutinya tapi mereka menerimaku."

"Dua bulan lagi akan diadakan penampilan drama untuk perayaan musim dingin sekolah. Aku ikut serta dalam hal itu tapi aku terlalu kaku untuk mengekspresikan karakter dan mengajak lainnya mengobrol. Tawa dan tatapan mereka seolah mengejekku, aku membenci situasi itu. Aku kesal pada diriku yang kaku dan tak tau cara berteman ini."

Setelahnya hening sesaat. Jeno tau ini gilirannya untuk berucap tapi ia ingin seperkian detik menyelami mata indah Jaemin. Lantas ia mengulurkan tangannya di hadapan pemuda itu.

"Ayo berteman, aku sudah memiliki ponsel, mungkin kau mau nomorku?"

Jaemin tak mengerti maksud ucapan Jeno tapi ia tetap menyambut tangan di hadapannya. Jeno sedikit meringis merasakan tangan Jaemin yang halus itu bertemu dengan tangannya yang agak kasar tapi rasa hangat yang dihasilkan membuat keduanya sama-sama nyaman. Sesaat kemudian jabatan tangan itu terlepas.

"Baiklah, aku mengerti. Kau mendatangiku untuk memberikan solusi agar kau tak kaku dan bisa bergaul, begitu?"

Jaemin perlahan mengangguk. Ia merutuki dirinya yang justru menjelaskan panjang lebar padahal bisa ia singkat menjadi seperti ucapan Jeno barusan. Ia jadi mempertanyakan kemana kekakuannya itu pergi.

"Kalau begitu, aku memang perlu membagikan nomorku padamu."

Jaemin mengernyit, "untuk apa?"

"Aku punya teman yang bisa membantumu, jadi bagaimana jika besok kita bertemu bersama temanku?"

"Baiklah, kemarikan ponselmu."

Dengan senang hati Jeno memberikan ponselnya pada Jaemin. Pemuda berambut pirang itu mengetikkan akun KakaoTalk miliknya di ponsel itu. Setelah selesai ia kembalikan pada si pemilik.

"Sekarang aku boleh pergi?"

"Ah aku melupakan sesuatu, sebelum pergi kau harus bayar. Ku harap kau tak berpikir aku membuka usaha konyol ini secara cuma-cuma."

Jaemin mendengus mendengarnya. Ia merogoh kantong mantelnya tapi sebelum ia berhasil mengeluarkan uang, si pemilik rumah berkata. "Kali ini aku tak meminta uang. Dari ceritamu tadi, kau itu pintar jadi bisakah kau membagi sedikit kepintaranmu itu? Asal kau tau, aku tak sekolah."

Tangan Jaemin keluar dari kantong mantelnya. Sejenak ia terdiam dengan memandang wajah tampan Jeno. Setelahnya ia mengeluarkan satu buku tebal dari tasnya lalu disodorkan pada Jeno.

"Ini, kau bisa belajar menggunakan buku ini, di dalamnya aku menulis banyak catatan penting."

Setelah mengucapkan itu, Jaemin melangkah pergi lalu menghilang di balik pintu. Jeno memandangi kepergian Jaemin kemudian beralih pada buku tebal di hadapannya ini.

"Tak ada gunanya aku membaca buku ini, yang ku perlukan itu penjelasan dari bibirmu Na Jaemin."


- His Smile -

His Smile | NCT Dream ✓Where stories live. Discover now