BAB 1 : Sorry

7.1K 323 17
                                    

Haiii!

Finally, rilis cerita baruuuu. Uwu. Selamat datang di dongeng Ibu Gantari dan Bapak Dylan. Sedikit penjelasan, di sini umur Charlotte masih enam tahun ya. Dan alur cerita THROWBACK ini bakal maju-mundur cantik (kayak niat doinya si penulis). Semoga nggak bikin bingung :D

So, mari cari tahu, apa yang bikin Papi Dylan sedingin itu sama Charlotte.





















"Mami, aku disuruh bawa makanan empat sehat lima sempurna."

Kebiasaan Charlotte tiap pagi; demen ngasih pengumuman dadakan. Bukan tentang kakeknya yang mau nyaleg lagi atau papinya yang mau bikin cabang perusahaan di tempat lain, tapi tugas sekolah yang lupa ia persiapkan. Dan itu cukup menyulut emosi Dylan. Pria itu sangat tepat waktu, tapi anak perempuannya hobi buang-buang waktu.

"Kebiasaan!" dengkus Dylan, tajam.

Mendengar itu, Charlotte langsung beringsut, menatap ayahnya takut-takut. Sementara Gantari yang tengah sibuk menghidangkan sarapan ke meja makan segera menengahi. "Iya, bentar Mami siapin. Tapi lauknya seadanya nggak apa-apa? Yang penting empat sehat lima sempurna, 'kan?" Charlotte mengangguk. Bergegas Gantari kembali ke dapur untuk menyiapkan, tapi saat melewati tangga, wanita itu dikejutkan oleh bocah laki-laki berumur delapan tahun yang menghantamkan kepalanya ke tembok. "Astaga, Max!" pekiknya.

"Kenapa lagi dia, Tar?" seru Dylan, menoleh ke arah Tari dan Max.

Tari tidak menjawab, fokusnya terpusat pada Max --putra sulungnya. Ia peluk anak itu dengan penuh cinta, sesekali bibirnya mendarat di puncak kepala si sulung. "Kenapa kepalanya dijedotin kayak gitu?"

"Bu, maaf." Rika --suster yang mengasuh Max sejak bayi-- datang dengan raut seolah merasa bersalah, menyita perhatian Tari. "Max minta cokelat karena kemaren dipamerin William. Saya bilang izin dulu sama mami-papi, tapi Max-nya nggak sabar dan ..." Menggigit bibir, ada sirat sungkan di sepasang mata Rika. "... malah tantrum."

Belakangan ini kondisi Max agak memburuk.

Tari menghela napas, tubuhnya sedikit membungkuk agar leluasa menatap mata sang jagoan. "Max, dengar Mami!" pintanya, tapi Max tampak tak acuh. Menghindari kontak mata dengan sang mami. "Kan Mami sering bilang, kalau Max ingin sesuatu, sampaikan. Tidak apa-apa, Max. Tidak perlu takut, okay?"

Tangan Max terangkat, menghantam tembok sekuat tenaga.

Ibu dan pengasuhnya sampai meringis. Bagi orang normal, pasti rasanya sakit. Tapi tidak untuk Max. Tari mengesah, hatinya benar-benar hancur. Sejak mendengar pernyataan dokter --lima tahun silam, dunia Tari seakan runtuh. Ditambah Dylan yang kemudian menghilang. Laki-laki itu bilang, dia malu punya anak dengan keterbelakangan mental. Tapi, bukankah Max juga tidak meminta dilahirkan dengan kondisi demikian?

"Bawa saja ke kamar, Sus," titah Dylan. "Kalau pagi, jangan izinkan dia keluar. Bikin mood orang-orang jelek, tahu nggak!" cercanya, lalu berpaling menatap Charlotte yang duduk di hadapannya. "Charlotte, sana minta tolong Mbok siapin makanan. Abis ini berangkat sama Papi."

"Tapi Mas Max--"

"Mau Papi marahi lagi?!" sentak Dylan, mendelik galak.

Charlotte tersentak kaget, lantas buru-buru menggeleng sebelum akhirnya mengindahkan. Gadis enam tahun itu melenggang menuju dapur, meminta Mbok Darmi untuk menyiapkan bekal empat sehat lima sempurna. Dan ketika melewati Max --yang kebetulan detik itu menatapnya, Charlotte mengulas senyum hangat. Max tidak merespons, justru melengos dan kakinya ganti menendang-nendang tembok.

"Max, stop, Sayang," bujuk Tari.

"Sus, nggak denger saya bilang apa?!" Suara Dylan kembali menggelegar.

Ring A Bell [TAMAT]Where stories live. Discover now