62 - Terkuak 2

Mulai dari awal
                                    

Caka menoleh, menatap Bu Marito lekat-lekat. "Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja. Bukankah kamu menemui saya untuk itu? Saya mau mendengarkan semuanya tanpa memotong."

"Suasana hati saya akhir-akhir ini buruk. Saya bertengkar hebat dengan kekasih saya. Masalahnya karena saya tidak bisa dengan baik memahami perasaannya."

"Saya berpikir keras. Apa kesalahan saya fatal? Saya juga merasa bodoh karena tidak bisa menjawab pertanyaan yang dia ajukan dengan baik. Harusnya saya lebih memahaminya, agar dia tidak marah kepada saya. Harusnya saya bisa menjawab pertanyaan penting itu agar dia tidak salah paham akan saya. Namun menjabarkan apa yang saya rasakan selalu menjadi kesulitan saya dari dulu."

"Saya sangat mencintainya. Dia yang mengenalkan warna indah yang buat saya takjub. Seperti seorang yang datang memberi hadiah yang tidak pernah saya dapatkan dari dulu."

"Semua menjadi semakin rumit, Bu." Lirih Caka.

"Rumit kenapa?" tanya Bu Marito. Dia mendengarkan semua yang Caka ucapkan dengan serius.

"Apa semua berbeda jika saya tidak haus kasih sayang? Apa tidak akan serumit ini jika saya diajarkan tentang empati dan simpati? Karena setiap harinya saya harus berpikir keras untuk menjabarkan apa yang saya rasakan saat membuka kedua mata."

Caka mengusap kasar air mata yang tidak berhenti mengalir deras. "Sebelumnya saya tidak secengeng ini, Bu. Saya tidak tahu kenapa hari ini saya tidak berhenti menangis."

Bu Marito ikut menangis melihat Caka. Ia mengusap punggung Caka dengan lembut untuk menenangkannya.

"Saat SD, saya benci hari ibu," ungkap Caka dan berhasil membuat tangan Bu Marito yang mengusap punggungnya berhenti. "Karena di hari itu, surat yang saya tulis tidak sampai kepada ibu saya."

"Saya juga tidak suka menangis. Saat itu saya sudah bisa berpikir bahwa menangis tidak ada gunanya. Tidak akan membuat saya punya ibu seperti yang lain."

"Saya dicap sebagai anak tidak normal karena minim simpati dan empati. Padahal bukan salah saya, kan? Bukankah tugas seorang ibu mengajarkan anaknya perasaan seperti itu? Sedangkan sedari kecil tidak ada yang mengajari saya hal itu. Nenek hanya mengajari saya untuk berbuat baik."

Bu Marito tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun selain menangis. Rasa bersalah tidak berhenti menggerogoti hatinya. Padahal dia sudah bertekad untuk tidak peduli. Namun nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa dia kendalikan. Melihat Caka tumbuh menjadi sosok yang kuat, membuat Bu Marito bangga kepadanya. Dia tidak tahu luka apa yang dibawa Caka karena ulahnya.

"Saya juga selalu iri dengan teman saya Alvarez. Dia memiliki keluarga yang hangat dan ibu yang sangat baik. Saya diizinkan untuk memanggil ibu Alvarez dengan sebutan Bunda. Berkat beliau, saya bisa merasakan kehangatan barang sejenak."

"Rumah menjadi gelap tanpa seorang ibu, dan hidup menjadi gelap tanpa seorang ayah. Sedangkan saya tidak punya kedua figur tersebut sejak saya kecil. Sekarang saya baru menyadari alasan kenapa warna hidup saya selalu monokrom."

"Maafkan saya, Caka. Maafkan saya." Bu Marito menangis tersedu-sedu mengatakannya.

Caka berdiri, ia melepaskan jaket kemudian memasangkannya pada pundak Bu Marito. "Saya pikir saya akan marah saat bertemu wanita yang meninggalkan saya. Tapi nyatanya rasa bahagia saya lebih mendominasi dibanding rasa marah saya."

Caka merogoh saku celana belakangnya. Dia mengambil dua surat yang dia tulis saat SD di hari ibu, bersama dengan sebuah foto yang dia temukan di gudang.

"Sepertinya Nenek yang selipkan foto Anda di belakang foto masa kecil saya. Papa menyingkirkan semua jejak Anda. Sampai saya benar-benar tidak mengetahui sosok wanita yang menghadirkan saya di dunia ini."

Caka menyerahkan kertas usang serta foto yang dia kantongi kepada Bu Marito. Tangan gemetar Bu Marito menerima surat dan foto tersebut. "Saya masih menyimpan surat di hari ibu belasan tahun lalu. Sebenarnya ada banyak, tapi hilang dan hanya itu yang tersisa. Akhirnya saya bisa memberikan surat tersebut kepada ibu saya meski terlambat."

"Anda tidak perlu terbebani. Saya tidak akan menuntut banyak hal. Jangan minta maaf, karena saya tidak bisa memaafkan Anda. Teruslah merasa bersalah kepada saya, kepada anak kecil yang Anda buat menderita bahkan sampai lupa caranya menangis."

"Anak kecil itu, saya akan menuntunnya bersama saya sampai saya mati. Saya akan berusaha menyembuhkan lukanya. Kedepannya, jangan beri saya perhatian yang terlambat Anda berikan."

Caka melangkah pergi meninggalkan Bu Marito yang meraung menangis kesakitan mendengar semua yang Caka ucapkan.

Hanya singkat yang Caka ceritakan tentang kesulitan hidupnya. Namun sakitnya sangat keterlaluan. Penyesalan hanya penyesalan. Dan waktu tidak bisa diputar, sama dengan luka Caka yang sudah terlanjur tertoreh. Luka masa kecil yang membentuk kepribadiannya sekarang.

Caka tidak lebih dari manusia hilang arah. Ia berjalan dengan mengikuti arah angin yang bertiup secara tidak pasti.

❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹

Sakit ya jadi Caka 💔 Anak hebat ❤️‍🩹

Next 5K komen

Strawberry Cloud [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang