"Oppa, jangan berpikir yang macam-macam." Sera bergeser pelan-pelan sampai lengan mereka bersentuhan. "Mungkin kau benar, kita berdua kelelehan."

"Hhmm...." gumam Jimin, masih memandangi langit-langit yang sekarang mencibirnya. "Aku bahkan berhalusinasi," tukasnya, menunjuk lampu yang bergerak-gerak di atasnya.

"Apa itu dementor (makhluk penghisap kebahagiaan)!" gumam Jimin, menunjuk ke atas. Dia mengerjap lemah, menguap lebar sampai matanya berair.

"Astaga, ini tidak baik." Sera buru-buru menarik selimut untuk mereka berdua, mematikan lampu nakas sehingga kamar menjadi gelap gulita.

"Kok, lampunya mati?" kata Jimin, nadanya seperti balita yang bingung kenapa lampu kamar bisa mati sendiri. Dia sampai berjingkat, begitu merasakan tangan Sera mengusap lengannya.

"Kita tidur saja, jangan berpikir yang macam-macam." Sera menggenggam jari-jari Jimin. "Tidak ada apa-apa di plafon, kita tidur, oke!"

Sera mengusap bahu Jimin yang tegang sampai napas Jimin terdengar lebih teratur, di menit berikutnya keduanya sudah terlelap. Tidur pulas, meski malam pertama mereka gagal total.

🍁🍁🍁

Tujuh menit kemudian-atau begitulah rasanya, Matahari pagi hari menyapa kamar pengantin baru. Sera mengerjap bangun, tahu-tahu Jimin sudah berada di atasnya. Dia sempat mendelik, belum sempat protes, Jimin sudah membawanya pada permainan cinta paling mendebarkan di sepanjang dia hidup.

Kemudian, semenit setelah selesai, Sera ingat sesuatu. Buru-buru menerjang Jimin yang masih berada di atasnya, tak acuh mendengar Jimin berdesis kesal sambil mengusap perut. Sera lekas berputar arah, menaikkan kakinya ke dasbor ranjang, nyaris seperti sikap lilin.

"Oppa, letakkan bantal di sini, cepat!" katanya, menunjuk bokongnya penuh semangat.

Sayangnya Jimin cuma mengernyit, tidak sepaham dengan Sera yang mengangkat bokong.

"Cepatlah, waktunya cuma dua menit!" pekik Sera, tidak sabaran. "Letakkan di antara pinggang dan pantatku, cepat nanti Ibu bisa marah!"

Bingung tapi akhirnya Jimin setuju, sangking bersemangat dia mengangkat kaki Sera kelewat tinggi. Hasilnya Sera oleng ke samping sebelum bantal berhasil menopang bokongnya, kaki Sera miring lalu jatuh menimpa leher Jimin.

Otomatis Jimin terguncang, tersedak saliva sebab Sera seperti sedang memiting lehernya. Jimin nyaris diambang kematian, kalau Sera tidak buru-buru beranjak. Sayangnya kaki Sera kembali jatuh di posisi yang tidak seharusnya, menimpa tempat hormon testosterone bersemayam.

"Yak! Kau mau membunuh suamimu di hari pertama?" Jimin nyaris saja membentak, mengusap leher dan pangkal pahanya yang sakit bergantian

"Aduh, jangan mati sekarang, aku belum mau jadi janda."

"Cho Sera, ah... aduh!" Jimin merintih lagi, mengusap bagian yang sakit berulang-ulang.

"Maaf, sakit ya?" Sera berhasil duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya ala kadar.

"Menurutmu?" Jimin akhirnya duduk juga, menatap Sera yang sibuk menutupi dada sampai paha. Lalu keduanya saling tatap, sebelum sama-sama tertawa tanpa alasan jelas.

"Ibumu mau kita cepat-cepat punya anak, jadi prosesnya harus dibantu supaya jalannya cepat."

Jimin mengernyit. "Dapat teori dari mana? Seumur-umur aku tidak pernah menemukan buku ilmiah yang membahas hal sekonyol itu."

"Dari Ibu," jawab Sera.

"Ibu?"

"Ibumu, dan Ibuku juga."

The CovenantWhere stories live. Discover now