Drained (2)

161 7 0
                                    

.˖⑅*♡*⑅˖.

"Jay?" 

Suara serak Jake keluar tiba-tiba, ketika ia terbangun dan mendapati kamarnya kosong. 

Matahari sudah naik, cerah cahaya mulai masuk melalui jendela kamar Jake. Wah, Jake tidur nyenyak sekali.

Jake mendudukan tubuhnya. Jauh lebih baik. Kepalanya sudah lebih ringan, meskipun masih ada sedikit pening yang ia rasakan. Mualnya hilang, tapi masih ada rasa tidak nyaman di perutnya. Tapi tenggorokannya masih kering. Pria itu meneguk air putih di nakasnya dan menghabiskan seluruhnya. Setelahnya ia sedikit melakukan peregangan sebelum berjalan keluar kamarnya untuk mencari keberadaan Jay.

Suara pintu kamar Jake yang terbuka menarik atensi Jay yang sedang menyiapkan sarapan. Mendapati kekasihnya keluar dari kamar, Jay meletakan alat masaknya lalu menghampirinya.

"Sudah baikan?" tanya Jay sambil memeriksa kening Jake, lalu membantunya duduk.

"Um," Jake tersenyum. Jay juga sangat lega karena suhu tubuh Jake sudah jauh lebih baik. 

"Jake, simpan ponselmu." tegur Jay tegas. Ia bisa melihat pergerakan Jake meskipun sedang memindahkan bubur dari panci ke mangkuk mereka.

"Sebentar. Aku sudah tidak merespon siapapun hampir 24 jam?" ujar Jake, masih sibuk membalas pesan-pesan yang masuk sejak kemarin siang.

"Belum 24 jam, sayang. Bahkan ini belum sampai pukul 7.." Jay menuju meja dan meletakan dua mangkuk bubur dan beberapa lauk favorit Jake. 

"Banyak yang penting?" 

"Lumayan.. " Jake membaca satu pesan, lalu keningnya berkerut dan ia menghembuskan napas sedikit berat. "Jay, aku sepertinya harus ke rumah sakit sore ini."

"Boleh. Aku yang antar." 

"Kamu nggak kerja sore?"

"Ini hari Sabtu, babe.." ujar Jay sabar, lalu memberikan sendok ke tangan Jake. "Makan. Kalau memang harus kerja, kamu harus makan yang bener sampai nanti siang." 

Jake tersenyum lalu mulai melahap bubur di hadapannya. Jay menatap kekasihnya dengan wajah iba, namun ada sedikit kesal di hatinya karena tidak bisa membantu Jak memikil bebannya. Bagaimana orang dihadapannya selalu menyimpan semuanya sendiri? Sesulit itukah berbagi dengannya? Bagaimana bisa Jay membuatnya terbuka? Atau setidaknya, bagaimana cara Jay melepas beban di kepala Jake?

Sadar terus dipandangi, Jake membalas tatapan Jay lalu bertanya. "Jay, I'm fine. Nothing to worry, babe. Go eat, buburnya dingin nanti."

Menyebalkan bukan? Siapa yang seharusnya melakukan ini????

Setelah menyelesaikan makan, Jay merapihkan meja makan lalu menyiapkan obat Jake.

"Diminum, aku cuci piring dulu."

Jake mengangguk lucu, lalu menurut dan langsung meminum obatnya. Ia setia duduk di kursi meja makan sambil membalas beberapa pesan. Tangannya berhenti mengetik ketika ada panggilan masuk. Deringnya berbunyi lima kali, dan masih belum diangkat olehnya. Hal itu membuat Jay yang telah menyelesaikan cucian terakhirnya mendekat. Karena Jake tidak pernah membiarkan dering berbunyi lebih dari tiga kali, apalagi dengan ponsel yang ada di tangannya.

"Babe?"

Tidak ada jawaban, Jake memandang layarnya kosong.

"Sayang?"

Belum ada jawaban lagi. Jay mendekat, merangkul bahu kekasihnya untuk mengembalikan kesadaran Jake. Dari situ, ia melihat dari siapa panggilan itu datang. Paman Kwan.

"Jake?"

"Eh, Jay." Jake kaget, lalu mengunci layar ponselnya dan membaliknya.

"Jake.." Jay memeluknya, lalu menepuk punggung bidang Jake. "Is there anything you want to share with me? Ada yang gangguin kamu?"

Jake hanya menghembuskan nafas berat sambil memainkan jarinya. Sepandai-pandainya Jake menyembunyikan masalahnya, Jay adalah seseorang yang akan menjadi saksi  betapa lemah dirinya.

.˖⑅*♡*⑅˖.

Setelah kejadian di meja makan, keduanya kini duduk bersebelahan di sofa ruang tamu. Jake akhirnya menceritakan semuanya. Awal dari teror yang ia dapatkan, bagaimana semua panggilan menghantuinya, hingga ketika pamannya datang dan mengancam akan menghabisi seluruh keluarganya. Jake sesekali terbatuk karena nafasnya tercekat, semua itu membuatnya sangat tertekan.

"Sayang.. besok lagi kalau ada hal seperti ini, tolong kasih tau aku, um? Sore ini kamu habis visit pasien istirahat. Aku bakal buat laporan ke polisi. It's a command. Kamu nggak bisa nolak." ucap Jay sambil merapikan poni yang menutupi wajah Jake.

"Maaf ya, Jay.. aku harusnya jagain kamu, malah jadi kamu repot ngurusin aku." Jake menunduk. Jemarinya saling mengait, dan ia menggigit bibir bawahnya

"Jay gapernah tuh ngerasa direpotin. Jadi jangan ngerasa bersalah ya.. kamu fokus kerjaan sama recovery dulu, oke? Jay nya Jaeyun sedih kalo pacarnya sakit.." Jay mengeluarkan jurus aegyo miliknya yang selalu mampu meluluhkan Jake.

Jake gemas, lalu mengecup kening kekasihnya.

"Makasih, sayang.." ucapnya, lalu menyembunyikan wajah mungil miliknya dibalik tengkuk Jay.

"Kan, suhu badanmu belum normal. Pasti masih pusing kan?" telisik Jay menatap Jake penuh selidik.

Jake mengangguk kecil lalu menunduk.

"Tidur lagi sebelum kita ke rumah sakit. Nanti aku bangunin."

Jake membalas tatapan Jay, lalu tersenyum. "Can i sleep while hugging you? Dingin.."

Jay yang melihat dominan mungilnya merajuk kelimpungan menata debaran di hatinya. Ia mengecup bibir kering Jake lalu mendekap tubuhnya sebelum diangkat menuju kasur.

"As you wish, my Jake.. Don't drain yourself, okay? It hurts so much, seeing you drained and lost.." Ucapnya setelah berhasil meletakkan tubuh Jake perlahan di atas  kasur.

"You have me, you're not alone. Okay? Always remember that. I will always right by yourself."

Jake mengangguk di dalam pelukan Jay. Aroma tubuh Jay seakan membiusnya, dan perlahan ia kembali masuk ke alam mimpinya.

Setelah memastikan Jake terlelap, Jay keluar untuk membuat laporan terror yang dialami Jake dengan bukti-bukti yang sudah ia kumpulkan.

"I won't let anyone hurt you, Jake. Not even once in my whole life."

End.

Jake And Jay's Daily Life Where stories live. Discover now