📷 chapter t h i r t y s e v e n

Start from the beginning
                                    

"Alsa tau soal ini?"

Radya dengan cepat kembali menengok pada Jeremy oleh sebab nama Alsa disebut. Secara otomatis ingatannya pun berkelana pada hari di mana Alsa pertama kali melihat Karen, lalu berlanjut pada beberapa waktu lalu ketika mereka akhirnya resmi berpacaran. "Tau," jawab Radya, "tapi cuma sekedar tau. Dia yang nolak untuk gue jelasin lebih detail karena bagi dia itu cuma masa lalu."

Jeremy membuang napas pelan. "Tapi yang kali ini harus lo ceritain, Rad. Takutnya bakal jadi masalah. Pokoknya, jangan sampe lo berakhir nyakitin dia."

Kedua mata Radya segera memicing. "Kenapa?"

"Ya gue kagak bakal tinggal diam, lah, kalau sampe itu terjadi."

"Bangsat. Move on, dong."

"Sialan lo, Rad." Jeremy tertawa hambar. "Gini-gini gue masih temen baiknya dia, ya. Awas aja pokoknya, lo."

Radya menarik satu sudut bibir. Lantas ia manggut-manggut, mengerti. Seraya berdiri dan menepuk-nepuk bahu Jeremy, ia pun berkata, "Noted."

Pada saat itu Jeremy baru akan membalas ketika keduanya tiba-tiba saja mendapati Karen yang tengah berjalan ke hadapan mereka.

Ah, ralat.

Lebih tepatnya, ke hadapan Radya.

Dan firasat Radya pun mendadak buruk karena hal ini.

"Rad," panggil Karen dengan senyum mengembang di wajah, "boleh minta tolong fotoin gue sama temen-temen gue, nggak? Tadi gue sama yang lain belum sempet foto bareng Zahira soalnya."

Yang ditanya sesaat terdiam. Berusaha keras ia menahan diri untuk tidak langsung menolak sebab situasi yang memaksa. Lagi-lagi dirinya tidak bisa berbuat apa pun selain bersikap profesional. Lantas ia pun hanya memberi anggukan--terpaksa--sebagai jawaban, lalu ditaruhnya botol air mineral di atas karpet sebelum beranjak mengikuti Karen seraya kembali mengenakan masker dengan benar. Kala itu, Radya tidak sadar bahwa diam-diam Jeremy mengikutinya di belakang.

Radya dengan sengaja memberi jarak agar Karen berjalan di depannya, tetapi perempuan itu tiba-tiba saja berhenti, menunggu Radya agar mereka dapat berjalan berdampingan.

"Gue nggak nyangka lo masih menekuni bidang ini sampe sekarang." Tanpa diduga, Karen memulakan percakapan di antara mereka sekarang.

Radya mendengkus pelan. Tanpa menoleh pada sang lawan bicara, ia pun membalas, "Nggak ada alasan buat gue untuk berhenti."

"Hmm, I see." Jeda sesaat. "Lo pasti butuh banget uang tambahan, makanya lo tetap moto sana-sini walaupun lo cuma nge-stuck di situ-situ aja."

Mendengar itu sontak Radya menoleh pada Karen dengan alis yang menyatu. Wajah gadis itu menampakkan prihatin yang Radya yakini hanya dibuat-buat saja. "Sorry?"

Raut Karen kini tampak innocent, lalu ia membalas, "Loh, emang iya, 'kan? Bahkan waktu libur panjang setelah semester dua aja lo habiskan cuma buat kerja dengan skill lo yang belum seberapa itu. Gue pikir lo bener-bener butuh uang dan jadi kasian sama lo. Makanya gue langsung berniat buat bantuin lo dengan jadiin lo sebagai fotografer gue, sekaligus bantu lo buat mengasah lagi kemampuan lo." Henti sejenak. "Kalau sekarang gue tawarin lo untuk kerja bareng gue lagi, lo bersedia nggak, Rad? Kebetulan tim gue masih kurang orang, tuh. Lumayan banget, 'kan?"

Penuturan Karen membuat Radya segera menghentikan langkah. Sorotnya berubah menajam kala ditatapnya gadis itu. Amarahnya kian memuncak setelah mendengar satu fakta baru yang baru ia ketahui saat itu, tetapi ia masih sadar dengan situasi sehingga sebisa mungkin berusaha ia tahan. Bibirnya membentuk senyum masam--kendati Karen tak dapat melihatnya sebab tertutup oleh masker. "Ah, gitu rupanya, ternyata sejak awal lo emang nggak pernah serius sama gue. Semuanya lo mulai cuma karena kasian. Bahkan waktu lo nyatain perasaan, gue tebak ucapan lo pun emang cuma kebohongan. Semuanya jadi masuk akal sekarang." Radya menghirup napasnya dalam-dalam yang mendadak terasa sesak. "Btw, makasih tawarannya, tapi gue nggak butuh."

Through the Lens [END]Where stories live. Discover now