11

673 24 1
                                    

Hari-hari Larine berjalan dengan baik. Segalanya terasa lebih mudah baginya. Ia punya Frank tempat dirinya membagi keluh kesahnya juga tawanya.

Tak terasa libur akhir tahun tiba. Larine akhirnya memutuskan untuk merayakan akhir tahun di Kopenhagen. Namun ia tak memberitahu Frank maupun Tuan Harold. Ia ingin ini menjadi kejutan.

Saat ini Larine dan Sena sudah di pesawat, sebentar lagi mereka akan mendarat di Bandara Lufthavn. Larine menggenggam tangan Sena erat dan tersenyum lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Semua orang bersiap untuk turun.

Tak lama setelah itu mereka sudah berada di pintu keluar. Kepala Larine berputar ke sembarang arah untuk mencari taksi.

Namun belum terlihat satu pun taksi.

"Kemana kita akan pergi?".

Tanya Sena yang membuat Larine sadar akan sesuatu. Sudah lama ia tidak pulang dan ia sama sekali tidak tahu alamat Frank dan Elena. Ia tahu Frank menyebut Naerum tapi alamat rumah Elena tidak pasti.

Awalnya ia ingin menghubungi Tuan Harold tapi itu tidak lagi akan disebut kejutan. Dan dengan terpaksa ia harus menelepon Frank. Baru saja tangannya menyentuh nama Frank, mata Larine menyipit untuk memastikan pria di ujung sana adalah Theodor.

Dengan menyeret kopernya ia berjalan cepat sambil memanggil nama Theodor. Dan ini adalah keberuntungan karena Theodor berbalik dan tidak percaya bahwa ia melihat Larine.

"Nyonya! Selamat datang... Hai Sena".

Dengan gembira Sena melompat dalam pelukan Theodor.

"Kau tidak memberitahu aku Sena. Apa ini kejutan?".

Sena mengangguk dan menoleh pada Larine. Theodor tersenyum lalu memberi isyarat pada Larine untuk masuk ke mobil.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Memang ini adalah Desember dan musim hujan dan cuaca dingin hampir menyelimuti semua tempat.

Sepanjang jalan mata Sena berbinar saat melihat begitu banyak ornamen natal ada dimana-mana.

"Paman Theodor berjanjilah untuk membawaku jalan-jalan. Aku tidak sabar melihat keindahan kota ini".

"Tentu saja putri kecil. Tapi itu jika ibumu mengijinkan".

Sena menoleh pada ibunya yang duduk di belakang seakan meminta konfirmasi.

"Paman Theodor harus bekerja sayang. Jangan menambah pekerjaan lain untuknya".

"Tidak masalah nyonya. Lagi pula ini akhir tahun, semua orang ingin menikmatinya. Oh ya, apa Tuan Jensen sudah tahu kalian datang? ".

Larine menggeleng cepat.

"Tentu saja tidak Theodor. Biarkan ini menjadi kejutan kecil terutama untuk Tuan Mayer ".

Wajah Theodor sedikit canggung tapi kemudian ia tersenyum. Sebenarnya ia sedang bingung akan membawa Larine ke mana. Apakah ke penthouse Frank atau ke mansion Tuan Harold.

Hujan turun lebih deras yang membuat Larine mengetatkan coat_nya dan juga syal di lehernya. Tak lama kemudian mobil memasuki kawasan penthouse Frank. Kening Larine berkerut namun ia tidak ingin bertanya. Ia percaya Theodor pria yang baik.

Setelah turun dari mobil Larine mengikuti langkah Theodor masuk ke lift dan berjalan ke unit milik Frank.

Begitu masuk Larine kagum dengan semua yang ada di dalamnya. Dalam benaknya ia menduga ini adalah kediaman Frank dan Elena.

"Silahkan duduk. Sebentar lagi Tuan Jensen pulang".

Kata Theodor sambil mendorong koper Larine ke sudut. Ia tidak berani membawa koper itu ke salah satu kamar yang ada di sini karena Frank belum memberikan ijin.

Kemudian Theodor pergi ke dapur dan kembali dengan segelas coklat hangat dan secangkir kopi untuk Larine.

"Silahkan diminum. Aku akan menyiapkan sesuatu untuk dimakan".

"Tidak perlu Theodor. Kami tidak lapar. Biarkan kami menunggu Frank dan Elena".

Theodor menggaruk kepalanya ragu lalu menatap Larine.

"Nyonya Elena dalam penerbangan ke New York. Ia akan menghabiskan akhir tahun bersama Mattew dan Shawn di sana. Aku baru saja mengantar mereka ke bandara tadi".

Jantung Larine berdegup kencang. Ia menggigit bibir dalamnya dan mencoba memikirkan sesuatu.

"Kalau begitu, bisakah kau membawa kami ke rumah Tuan Mayer?".

"Maaf Nyonya tapi aku harus menjemput Tuan Jensen sekarang. Lalu aku akan membawa kalian setelah ini. Aku permisi".

Lidah Larine kelu. Ia melihat ke jendela dan hujan masih saja turun. Sena yang duduk di sampingnya mulai menguap. Larine meraih kepalanya dan mendekapnya erat. Ia tahu putrinya jet lag karena dirinya juga merasa demikian.

Larine memperbaiki posisi duduknya dengan bersandar pada sofa dan akhirnya ia pun memejamkan mata karena tidak kuasa menahan rasa lelah.

Pukul 07.00 malam Frank tiba di rumah. Begitu masuk dan menyalakan saklar lampu ia sangat terkejut bahwa ada orang lain di sana. Larine membelakangi pintu jadi Frank belum tahu. Dan juga Theodor tidak memberitahu apapun padanya.

Dengan langkah was-was Frank mendekati sofa dan matanya terbelalak saat melihat wajah damai Larine yang tidur dengan kepala Sena di dadanya.

Entah harus senang atau terharu tapi kedua rasa itu mendesak air mata Frank menetes. Ia tersenyum sendiri saat menatap ibu dan anak gadisnya itu.

Sesaat otak Frank tidak bisa berpikir apapun. Ia hanya memandang takjub dan tidak percaya bahwa Larine berada di sini, hanya selangkah dari tempatnya berdiri.

Tiba-tiba kepala Larine bergerak dan disusul oleh matanya yang terbuka. Ia langsung tersenyum begitu melihat Frank berdiri di hadapannya.

"Ssttt...".

Frank menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai isyarat agar Larine tidak bicara karena Sena akan terbangun. Lalu dengan gerakan perlahan Frank mendekat dan meraih tubuh kecil Sena kemudian membawanya ke kamar.

Larine menegakkan punggungnya dan tidak tahu apa yang semestinya ia lakukan sekarang. Suasana ini begitu canggung untuknya.

"Ini kopermu? Bersihkan dirimu dan aku akan menyiapkan makan malam. Di luar sangat dingin jadi kita akan makan di sini saja".

Larine mengikuti langkah Frank menuju kamar. Ini adalah kamar yang mewah walau bukan kamar utama. Tiba-tiba saja sebuah pikiran konyol menggodanya untuk menduga sepeti apa kamar Frank.

Aku benar-benar sudah gila!

"Apa yang kau pikirkan?".

"Ti...Tidak ada Frank. Aku akan membersihkan diri ".

Dengan pipi yang panas Larine berlari kecil menuju kamar mandi. Sungguh ia malu bahwa Frank menangkap basah dirinya sedang melamun.

Hanya butuh kurang dari 15 menit dan Larine sudah menemui Frank di luar. Ia bisa mencium aroma makanan dari dapur.

"Biarkan aku membantumu Frank".

Larine berdiri di samping Frank yang sedang membuat salad.

"Ini hampir selesai. Duduklah".

Tapi Larine tidak duduk. Ia tetap berdiri dan bersandar di ujung meja sambil memperhatikan seluruh gerakan Frank.

Tanpa aba-aba Frank menyodorkan sendok berisi salad di depan mulut Larine. Mau tidak mau Larine harus membuka mulutnya dan menerima suapan itu walau ia sangat canggung.

"Enak...".

Puji Larine. Di luar dugaan jempol Frank sudah berada di ujung bibir Larine untuk menyeka sisa mayonais. Sesaat pandangan keduanya bertemu. Larine tidak berkedip saat melihat binar mata Frank.

"Terima kasih sudah ada di sini. Aku sangat merindukan kalian".

Ucap Frank setengah berbisik. Larine langsung memutus tatapan matanya dan menunduk. Ada yang tak biasa dengan aura Frank. Suaranya terdengar serak dan berat.

Tidak! Jangan lakukan ini Frank...


➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️

SECOND HOME (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang