DFR | 08

6 3 0
                                        

_____________________________




Pada perjalanan menuju rumah setelah selesai menunaikan salat jum'at, Mores hanya menatap kosong jalanan di depannya. Ayunan langkahnya terasa hampa seakan musafir tak kenal rumah. Suasana hatinya sedang kurang baik. Dia bahkan melewatkan pembagian nasi kotak depan masjid yang biasanya dia bersemangat untuk menodong paling awal. Pikirannya tertuju pada Senna. Tentang gadis itu yang tak membalas pesannya dan menolak panggilannya berkali-kali, padahal Senna sudah berjanji bila hari ini akan menemani latihan.

Sebuah mercedes e-class yang terparkir di depan gerbang rumahnya membuat Mores mengerutkan kening. Otaknya berusaha untuk mengingat mobil silver tersebut lantaran ia merasa familiar. Begitu masuk ke ruang tamu, Mores mendapatkan jawabannya.

Di atas single sofa, ayahnya tengah berbincang dengan pria berusia setengah abad yang memiliki wajah khas seperti orang barat. Potongan rambut undercut dengan corak bintang di samping kiri membuat pria itu terlihat muda dari usia aslinya.

"Morezho! How are you, my son?" Pria itu berseru setelah menyadari kehadirannya. Dia bahkan bangkit dari duduknya untuk menyambut Mores dengan pelukan hangat.

"I'm good, Uncle." Mores tersenyum lebar ketika menyambut pelukan hangat itu. "Om sendiri gimana?"

"Seperti yang kamu lihat. Saya jauh lebih baik, apalagi setelah bertemu dengan kamu." Edward mengurai pelukannya, berganti menepuk punggung Mores sedikit kencang. "Anakmu ini semakin hari semakin tampan saja, Ngga."

Alfreangga—ayah Mores dengan kemeja putih polos yang dibalut setelan jas navy dan celana senada—tampak tak terusik bahkan ketika anaknya pulang dan disambut hangat oleh calon investor dari perusahaannya. Dia terkekeh—yang Mores tangkap adalah kekehan sumbang. "Tentu, Mr. Edward."

"Like father, like son." Edward berucap sembari tergelak, sama sekali tak tahu bahwa ucapannya sedikit menyinggung ayah dan anak yang sedari tadi sudah melakukan perang dingin melalui tatapan mata.

Walau begitu, Mores tetap tersenyum ramah lalu melangkah ke arah ayahnya, berniat salim sebelum Angga malah menarik tangan ke belakang dan malah bertanya mengenai bisnis keluarga Edward yang terus berkembang pesat, membiarkan tangan Mores menggantung hampa diudara. Senyum diwajahnya sepenuhnya hilang diganti  dengan rasa sakit yang mencubit hatinya.

Tentu aktivitas antara ayah dan anak di depannya tak luput dari perhatian Edward. Sejak awal datang dan mengobrol dengan Angga, ia tak melihat tanda-tanda calon rekan bisnisnya itu membanggakan prestasi anaknya layaknya kebanyakan orang tua—yang pasti akan mengagungkan bila memiliki anak dengan prestasi yang mengharumkan. Padahal sejak tadi ia tak berhenti melirik lemari kaca yang didalamnya penuh dengan piala-piala besar dan mendali yang menumpuk di bawahnya.

Mores memaksakan senyum. Ia membenarkan sajadah di bahunya yang merosot, kemudian membenarkan peci untuk menutupi raut kecewanya. "Mores ke dalam dulu, ya, Yah ... Om?" Tak perlu mendapat jawaban dari keduanya, Mores langsung melenggang ke kamar.

Direbahkannya tubuh untuk melepas penat. Matanya menerawang pada langit-langit kamar, kemudian menilik sekitar kamar yang baru ia cat dengan konsep monokrom—satu tahun lalu. Ia terpaku pada jam dinding yang diletakkan tepat di atas foto keluarga mereka dua tahun lalu—yang nyaris dibakar ayahnya karena foto itu yang membuat Mores nyaris satu minggu mengurung di kamar seraya terus terisak pilu.

"Tidak perlu menangis! Kamu pikir setelah air mata kamu tumpah, ibumu akan kembali ke rumah? Kamu pikir setelah air matamu kering, kamu bisa mengembalikan keadaan? TIDAK, 'KAN?!"

"Jadi tidak perlu menangisi sesuatu yang disebabkan oleh kamu sendiri, Res!"

"Mulai saat ini, ayah nggak mau lihat kamu nangis begini! Laki-laki harus kuat, pantang nangis! KAMU DENGAR AYAH, MORESZHO?!"

Different RouteDonde viven las historias. Descúbrelo ahora