"Itu alamat rumahku."

"Terima kasih, Raina."

@rainagenna:
"Bukan masalah."

"Akan kukirim besok pagi, ya?"

@ramahakmani:
"Oke."

Napasku kembali terhela dengan berat setelah menghadapi kenyataan bahwa obrolalan yang mengalir itu kembali menemukan garis buntu. Aku yakin bahwa Rama akan menggodaku lagi seperti tadi jika aku kembali mencari cara agar obrolan itu berlanjut. Tentu aku tidak ingin terlihat seperti gadis yang haus perhatian, aku memilih untuk menaruh ponselku di atas meja kerja sebelum membuang diri ke kasur.

Aku mungkin gelisah karena obrolanku dengan Rama kembali berakhir. Aku mungkin saja terlalu antusias untuk menunggu dan menyambut waktu-waktu yang akan datang dimana akan ada interaksi menyenangkan lagi antara aku dan lelaki itu. Tapi satu hal nyata yang kusadari saat itu adalah distraksi yang ditawarkan Rama. Dia tanpa sengaja membuatku terdistraksi untuk tidak lagi memikirkan Julian. Aku ingat betul bahwa jauh sebelum Rama ada, tiada hari tanpa aku memikirkan dan merindukan Julian.

Aku baru menyadari itu sekarang. Mengingat itu membuatku tersenyum dengan sedikit kelegaan. Terima kasih untuk Rama. Tiap waktu dan obrolan bersama dia berhasil membawaku untuk keluar dari tempat di mana aku hanya duduk diam di ruang pikiran yang hanya selalu tentang Julian. Ini terasa aneh, namun juga ajaib secara bersamaan. Terhitung dua hari aku akrab dengan Rama, baru kusadari jika dua hari ini adalah sejarah. Sejarah penting dimana aku tak pernah sedetik pun terpikirkan tentang Julian. Aku memikirkan ini semua terlalu jauh, membuat diriku tenggelam dalam lamunan sebelum terseret masuk ke alam mimpi.

Aku tertidur bersama senyuman kecil. Merapalkan banyak terima kasih kepada semesta karena sudah membawaku ke tahap baru dalam penyembuhan diri dengan cara yang tidak pernah kuduga.

Belum lama aku tertidur, mungkin baru sekitar empat jam lebih. Aku mungkin sudah hampir mendengkur saking pulasnya. Tetapi dering telponku seperti tak ingin aku tidur lebih cepat dari biasanya.

Mataku yang setengah terbuka menoleh ke arah jam digital yang ada di atas meja, lantas membaca dengan sedikit kesadaran saat nama Angel lah yang terpampang di layar ponselku. Rasa kantukku hilang setengahnya, aku penasaran hal sepenting apa yang membuat Angel harus menelponku larut malam.

"Halo?"

"Kenapa kau lama sekali mengangkatnya?"

Seketika aku menegakkan tubuhku setelah mendengar suara Angel yang sedikit parau. Kantukku langsung hilang seluruhnya, mungkin memang telepon dari Angel kali ini adalah sesuatu yang serius.

"Maaf, aku tertidur. Tidak biasanya aku bisa tidur cepat seperti ini. Ada apa, Njel?"

Bukannya membalas pertanyaanku, Angel malah membuatku bingung karena tiba-tiba saja aku mendengar tangisnya meledak.

"Hei, kau kenapa?" tanyaku mulai cemas. Kalian harus tau betapa Angel adalah tipikal gadis tomboy yang anti dengan segala drama yang emosional. Dia tidak mungkin menangiskan hal-hal yang remeh.

"Ini tentang Dillon," isaknya.

"Kenapa dia? Tunggu, kau serius sedang menangisi Dillon? Bukankah seingatku, kau tidak akan pernah mau menangisi atau bahkan memusingkan siapapun yang sudah menjadi mantanmu?"

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now