▶[06] 20 Oktober

513 76 3
                                    

Bukan bermaksud menandai agar diingat hingga nanti. Namun, entah bagaimana prosesnya, luka masa lalu itu dapat berbekas tanpa kita niat; terpatri begitu abadi.

 Namun, entah bagaimana prosesnya, luka masa lalu itu dapat berbekas tanpa kita niat; terpatri begitu abadi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pada Minggu ini, beristirahat seharian dalam kamar adalah agenda direncana. Memainkan ponsel yang sangat jarang dilakukan sebab kesibukannya di hari aktif, menjadi bentuk hiburan tersendiri bagi Arkan. Hingga, pintu kamar yang tidak ia kunci terbuka tanpa adanya ketukan, membuat pemuda tersebut sontak melirik tak suka.

"Masuk ke kamar orang itu ada etikanya," sindir Arkan. Membalikkan sebuah kalimat yang biasanya dilontarkan wanita paruh baya di hadapan.

"Kalo mau dihormatin, perbaiki dulu etika kamu sendiri, baru bisa negur saya," sahut Rena. Menatap jengkel ke arah remaja yang duduk bersandar pada tempat tidur—berbicara tanpa menatap sang lawan bicara, dan lebih terfokus pada benda pipih canggih. Sangat tidak sopan, keluh wanita ini. Bahkan cara keduanya berkomunikasi sangatlah terdengar asing untuk dilakukan oleh anak dan orang tuanya—Arkan yang memulai. Semenjak berulah, remaja itu sudah enggan menyebut orang tua dengan panggilan seharusnya.

Tak terlalu ingin banyak basa-basi, Rena lantas mendekat, meletakkan sebuah amplop ke atas nakas samping kasur. "Yang dari Papamu udah ditransfer. Ini dari saya, saya kurangi biar gak kamu hambur-hamburin untuk hal-hal gak jelas."

Mendengarnya, berhasil membuat Arkan tersenyum sinis dan segera memusatkan pandangan ke arah sang ibu. "Bukannya anak penyakitan itu yang lebih banyak ngehamburin uang kalian? Bukan saya."

"Jaga ucapan kamu Arkan, jangan selalu memancing saya untuk semakin sadar bahwa kamu bener-bener gak berpendidikan padahal sudah sekolah ditempat yang mahal."

"Seharusnya kamu juga bersyukur karna setelah semua kebangsatan kamu pintu rumah ini masih terbuka dan nerima kamu. Setidaknya tau diri, jangan selalu bikin kami emosi sama kelakuan berengsek kamu. Selama ini kami sudah cukup sabar ngedenger para tetangga ngegosipin keluarga kita gara-gara kamu."

Rena menghela napas, rasanya percuma berbicara dengan bungsunya; tak akan pernah digrubris. "Kalo kamu lapar bisa turun ke bawah."

Ibu lalu melangkah pergi, tanpa tahu, bahwa meski menghiraukan, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya selalu berbekas dalam kepala pemuda tujuh belas tahun; melekat tanpa pernah hilang.

--

01:26 WIB.

Sudah berjam tubuh didudukkan pada balkon kamar, ditemani sekotak rokok yang entah sudah diambil berapa batang. Terus disulut sedari tiga jam lebih lalu. Pandangan lekatnya tertuju pada kelam langit malam. Netra tidak bisa tertutuplah alibi dari aksinya—atau mungkin, ada sebuah 'alasan' lain yang tak pernah ingin untuk diakui.

20 Oktober, tanggal di hari ini yang berhasil mengganggu jernihnya kepala selama bertahun-tahun. Hal langka seperti sekarang secara sadar tak sadar sering kali dilakukan saat tanggal dua puluh bulan sepuluh tiba; berdiam diri di balkon kamar tanpa peduli mengenai dingin yang tak nyaman. Terus berlanjut hingga dirasa cukup dalam menikmati hitungan batang sigaret.

RETISALYAWhere stories live. Discover now