part 27

118 11 0
                                    

Ratri termenung menatap rumah reot tempat tinggal Mbah Diman, dukun yang di kenal sakti di tempat itu.

" Mas, nggak usah ke sini. Perasaanku bilang, kalau anak kita itu akan segera pulang," tutur Ratri seraya menarik tangan suaminya, berusaha untuk menghalangi Warto mengetuk pintu.

Warto mendengus mendengar ucapan istrinya. "Perasaan-perasaan! ini soal anak! anak kita!"

"Tapi, Mas, kata Pak Ustad tidak boleh menemui dukun," kilah Ratri dengan tatapan sayu.

"Ustadz-ustadz, buktinya Pak Ustadz tidak bisa membawa anak kita kembali. Cuma plonga-plongo seperti ayam sayur!" sentak Warto yang membuat hati istrinya mencelos.

"Bukan tidak bisa, Mas. Pak Ustadz tidak pernah bersinggungan dengan makhluk seperti itu, tapi kan kata Pak Ustadz dia akan menemui temannya dan meminta tolong untuk membantu mencari anak kita,"

Meskipun Ratri dalam keadaan tidak baik-baik saja, karena dadanya terus saja bergemuruh khawatir memikirkan anaknya, ia masih berpikiran waras dan menyadari jika apa yang sedang mereka lakukan ini dilarang oleh agama mereka.

"Sudahlah! jangan banyak cerita! Kamu ikut saja yang penting anak kita selamat!"

Tanpa mendengar persetujuan Ratri, Warto mengetuk pintu dan tak lama pintu pun terbuka.

Aroma anyep dan bau kayu gaharu menyeruak saat pintu di buka perlahan.

Ratri sampai memundurkan tubuhnya untuk menghindari bau yang terasa sangat menusuk indra penciumannya.

"Yang sopan, Nduk,"

Suara serak dan berat dari dalam membuat Ratri tersentak dan wajahnya seketika menegang.

"Ampun Mbah! njaluk ngapuro," Warto menyatukan tangan di depan dengan wajah tertunduk.

"Yo, wes masuk,"

Pintu di buka lebih lebar, dan Warto menarik tangan Ratri hingga wanita itu nyaris tersungkur karena ditarik tiba-tiba.

Ratri menutup mulutnya. Ia tidak mau salah bicara. Matanya mengitari, menyusuri setiap sudut ruangan yang terkesan sinup dan angker.

Ruangan remang-remang, jendela tertutup dan sawang-sawang memenuhi ruangan.

Ratri pun terbatuk-batuk saat lengannya tak sengaja menyenggol dinding bambu yang tak sedikit pula terdapat lubang-lubang karena lapuk di makan usia.

Itu tak kalah mengerikan dengan apa yang kini tersaji di depan mata. Ratri yang berada di belakang suaminya tak henti menatap wanita berkebaya kuning kunyit tempo dulu dengan kemben di dalam menutupi buah dadanya yang tampak rata, pas badan dengan kain lusuh diatas mata kaki, menampilkan kakinya yang kurus.

Wanita tepos dengan rambut beruban yang di sanggul itu membawa mereka ke sebuah kamar, di mana seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam duduk bersila di depan meja kecil yang di atasnya tersedia tembikar yang bisa berisi bara berwarna merah dan mengepulkan asal tipis. Sesekali pria tua berjanggut putih itu menebarkan serbuk-serbuk yang ketika jatuh diatas tempat itu langsung menyebarkan bau kemenyan yang menyengat.

Aroma bunga setaman pun menambah aroma yang membuat bulu kuduk berdiri dan membuat Ratri tidak betah berlama-lama berada di sana.

"Silahkan duduk, dan sebutkan apa mau kalian datang ke rumah Mbah,"
suara serak dan lantang itu membuat nyali Ratri semakin ciut, takut.

Warto lalu duduk di tikar lapuk yang terbuat dari anyaman pandan hutan, sedikit berdebu yang di gelar di hadapan laki-laki keriput itu.

"Kalian ingin minta bantuan untuk menemukan anak kalian, bukan?" terkanya dengan sorot mata tajam, memindai tatapannya antara Ratri dan juga Warto yang menatap mengangguk serentak.

"Anak kalian di culik bangsa Wewe Gombel. Ia sebenarnya tidak jahat, tapi makhluk itu pemakan daging, daging manusia adalah salah satu santapan mereka,"

Terang saja mendengar ucapan laki-laki uzur itu membuat napas Ratri tersengal. Matanya yang semula sayu karena semalaman terjaga itu langsung melotot sebagai ekspresi keterkejutan yang teramat sangat.

Begitu juga Warto yang tampak gelisah, tidak bisa membayangkan jika buah hati satu-satunya itu menjadi santapan makhluk pemakan manusia yang konon hanya ada di dalam hutan larangan.

"Tenang saja, anak kalian masih hidup. Hanya saja saat ini ia belum bisa pulang, karena masih di asuhnya," papar laki-laki itu saat melihat ekspresi Ratri dan juga Warto.

Ratri langsung bernapas lega. Sebagai seorang ibu, nalurinya memang berkata jika anaknya itu masih ada, dan mudah-mudahan dalam keadaan sehat.

"Jadi ... Mbah ... kami harus bagaimana?" tanya Warto.

"Jebak makhluk itu, jangan tertipu karena ia mampu merubah wujud. Setelah di jebak, ambil anakmu," ucap laki-laki itu dengan mata yang membola, membuat dada Ratri bergemuruh kencang. Bukan karena jatuh hati padanya, tapi karena ngeri membayangkan jika harus berurusan dengan makhluk tak kasat mata.

"Ba--bagaima cara kita menjebaknya, Mbah?" tanya Warto.

Orang tua itu terdiam sejenak, tapi kemudian ia berbisik," caranya ...,"

***
Laksmi akhirnya pulang untuk menemui anak manusianya yang saat itu masih menangis tersedu memanggil ibunya.

Bocah kecil itu langsung berlari ke arahnya saat ini menampakkan wujudnya.

"Ono opo toh, Le? kok nangis?" Laksmi dengan sayang membelai rambut bocah kecil itu, mencium keningnya yang langsung membuat bocah itu tenang.

Bocah itu mendusel-dusel kepalanya di payudara ibunya yang tak lain adalah perwujudan Laksmi. Tampak sekali jika bocah itu kehausan dan juga kelaparan.

"Haus Le? ini ibu bawa jeruk. Mau?" Laksmi menunjukkan buah jeruk yang ia petik di kebun warga.

Berbeda dengan Sumi yang sejak bayi ia asuh dan di beri makan daging mentah, ia malah tak tega memberikan makanan itu pada bocah ini, karena ia tahu, bocah itu terbiasa makan makanan manusia.

Ia pun menjadi iba dan berniat akan segera mengembalikan bocah itu pada orang tuanya.

Pada saat yang bersamaan, Sumi diajak berkeliling oleh Aksa memakai mobil Jeep milik ayahnya.

Mengingat Sumi sudah kembali segar, pemuda itu berinsiatif untuk membawanya pergi membeli keperluan Sumi agar gadis itu terlihat lebih manusiawi.

Disaat itulah, Sumi mendengar bisik-bisik warga yang tak sengaja ia dengar saat Aksa membeli pakaian untuknya.

"Iya, katanya di culik Wewe Gombel, sampai sekarang belum di temukan. Kasihan, mungkin sudah jadi santapan,"

"Ih, ngeri sekali. Kata orang tua dulu juga, yang namanya Wewe Gombel itu suka makan daging. Ga kebayang ibunya bagaimana sedihnya,"

Bukan cuma Sumi, Aksa pun mendengar ucapan ibu-ibu tadi. Ia lantas membawa Sumi pergi dari toko dan langsung mengajaknya masuk ke dalam mobil.

"Sum? kamu mau makan?" tanya Aksa saat melihat wajah Sumi yang mendadak muram.

Sumi menggeleng perlahan. Bibir merah jambunya perlahan terbuka.

"Mungkin itu memang Ibu yang mencariku. Aku harus bagaimana? aku tidak mau anak itu menjadi korban. Meski aku yakin ibu tidak mungkin memangsanya. Apa aku pulang saja?" tutur Sumi dengan suara tertahan.

"Tidak! kamu tidak boleh pulang. Karena aku akan segera mempersunting dirimu dan menjadikanmu istriku,"

"Apa? istri?!"

*****

SUMIATI Where stories live. Discover now