part 10

182 25 0
                                    

"Astaga!"

"Kau siapa berani-beraninya berada di tempat ini, pergilah sebelum kau yang akan menjadi mangsa berikutnya,"

Sumi membeku. Hanya matanya yang tampak membesar dengan debar jantung yang tidak beraturan.

Perlahan ... Sumi membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok laki-laki berjenggot panjang yang berwarna putih sedang menyorot tajam padanya.

"Sa--saya ...,"

"Pergilah! tempat ini tidak diperuntukkan untuk manusia!" suara laki-laki itu meninggi, membuat Sumi semakin ketakutan.

"Ta--tapi ... ibuku di--da--lam," suara Sumi bergetar seraya menunjuk ke arah pohon besar yang ada lubang menganga di depannya.

"Tidak ada manusia yang tinggal di tempat ini. Pohon yang kau tunjuk adalah sarang demit. Manusia sepertimu hanya akan menjadi mangsa dan makanan untuk mereka. Pergilah selagi kau masih punya waktu!"

Sumi menangkap nada ancaman dari ucapan pria tua di hadapannya itu.

Ia kembali menggerakkan kepalanya dan tubuhnya ke arah pohon di mana di sekitarnya terdapat kepala-kepala manusia dan juga tulang-tulang yang berserekan serta baju-baju yang terkoyak.

Pikirannya kalut. Jelas-jelas yang di hadapannya itu memang sepertinya bukan tempat manusia. Apalagi ketika melihat dengan mata kepalanya bagaimana bentuk ibunya yang  sebenarnya.

"A--apa aku adalah bagian dari mereka?" Sumi memutar tubuhnya dan bertanya kepada orang itu tapi orang tua itu sudah tidak ada lagi.

"Ke mana kakek tadi?" Sumi celingukan. Mencari orang tua tadi di sekitar tempat dengan mata yang terbuka dengan lebar, tapi tak jua ia temukan.

Sayup-sayup suara kokok ayam semakin terdengar bersahut-sahutan. Hutan yang sebelumnya tampak gelap dan remang-remang, kini cahaya sudah mulai tampak. Perlahan, hutan pun berangsur-angsur menjadi terang.

Sumi menatap lama pohon yang terlihat angker yang letaknya tak jauh darinya.

Sedih. Hatinya berontak ingin pergi saat itu juga, tapi rasa sayang pada ibunya sulit untuk ia lupakan begitu saja. Apa benar ibu yang selama ini menyayanginya akan memangsa dirinya? kenapa tidak dari ia kecil saja? kenapa harus menunggu ia dewasa? apa sewaktu kecil dagingnya tidak enak?

"Pergilah! pergi selagi masih ada waktu!"

Jantung Sumi rasa akan terlontar keluar saat mendengar suara menggelegar yang tiba-tiba saja membuyarkan lamunannya.

Gadis itu lalu mendongak dan menatap langit yang sudah tampak terang di sela daunan.

Matanya lalu bergerak mencari asal suara tapi tak ia temukan. Gadis itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah sekitar, sunyi dan senyap.

Merasa jika ia berkali-kali diberi peringatan, peringatan tanda bahaya untuk dirinya sendiri, Sumi pun memutuskan untuk pergi.

Ia sempat menoleh ke arah pohon dengan sedih. Sebagian jiwanya seolah pergi. Ada setangkup kesedihan di sana. Seburuk apapun bentuk asli ibunya, di lubuk hatinya yang paling dalam, Sumi tetap mencintainya.

Ia yakin, bahwa di balik bentuk ibunya yang mengerikan, makhluk itu tetap baik hati, karena jika ia jahat, Sumi tentu tidak akan hidup sampai saat ini.

Namun, Sumi menyadari. Ini bukanlah hidup yang ia inginkan. Sejatinya, karena ia berbeda dengan ibunya, dan Sumi ingin menemukan kebahagiaan yang selama ini tidak ia rasakan.

Sumi ingin mencari tahu siapa dirinya sebenarnya. Kenapa ia bisa berada di tempat ini, tempat yang semestinya bukan untuk dirinya.

Dengan air mata yang jatuh berlinang, Sumi mengangkat kedua tangannya dan menekan dadanya yang terasa sesak.

"Maafkan Sumi ... Ibu, Sumi terpaksa pergi meninggalkan ibu. Terima kasih telah merawat Sumi selama ini. Sumi sayang ibu,"

Setelah mengucapkan itu, Sumi berbalik dan berlari kembali menuju rumahnya. Kaki telanjangnya sesekali terluka karena tergores tanaman merambat berduri yang ia lewati.

Sumi sekilas menatap kakinya yang berdarah, tapi ia tak berani berhenti. Ia takut pada akhirnya ia tak akan bisa pergi dari hutan itu sampai kapanpun.

Sesampainya Ia di dalam rumah, ia meraih kain yang menjadi benda berharganya selama ini. Entah kenapa kain lusuh itu seolah mempunyai ikatan batin dengannya, hingga Sumi tak kuasa lepas dari kain itu barang sejenak.

Setelah itu, Ia pergi menyusuri hutan. Kakinya melangkah dan matanya menuju ke arah tanah yang ia pijak, mencari-cari buah merah yang ia berikan kepada Aksa kemarin, yang menjadi penunjuk jalan untuknya sampai ke tepi hutan.

Benar saja, baru beberapa langkah ia berjalan, buah merah itu sudah ia temukan. Setiap jarak 4 langkah, ia kembali menemukan buah yang sama.

Sumi tidak ingin membuang waktunya, ia terus mengikuti jejak buah itu, dan saat terakhir ia menemukan buah itu, Aksa seperti memberi tanda lain, ranting bersilang dan itu ia dapatkan hingga akhirnya ia sampai di tepi hutan.

Sumi sempat terdiam di tempat dan matanya mengedar ke sekitar. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

Ada perasaan lega di dalam hatinya saat melihat banyaknya pohon serupa yang berjajar rapi, pohon yang memiliki daun berwarna-warni, hijau dan merah.

Sumi tampak ragu-ragu saat kembali melangkahkan kakinya. Udara sejuk kembali menyapa. Sumi mendongak dan menatap bentangan langit berwarna biru muda dan awan putih berarak, matahari saat itu belum keluar sepenuhnya tapi sinarnya sudah mampu membuat cerah dunia.

Suara nyanyian burung bersahut-sahutan, suara alam yang selama ini hanya ia dengarkan dari dalam kamar.

"Ah ... betapa indahnya dunia ini ternyata," gumam Sumi pada dirinya sendiri.

Ia mulai melangkahkan kaki, tanah yang gembur terkadang membuatnya  berjinjit kesakitan, karena luka goresan di kakinya terasa pedih saat ia menjejak di tanah.

Di kejauhan, ia melihat rumah panggung seperti yang diucapkan Aksa. Sebuah senyum terbit di wajah pucat Sumi.

"Ini awal dari kehidupanku, aku akan mencari tahu siapa sebenarnya diriku," Sumi berbisik, yang tentu saja bisikannya hanya ia yang mendengarnya seorang diri, karena saat itu masih sangat pagi, dan warga belum pergi untuk melihat kebun.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah panggung itu, Sumi tak henti berdecak kagum saat melihat buah-buahan yang baru pertama kali ia lihat.

Tanaman-tanaman warga itu, sesekali membuatnya bertanya-tanya. Apalagi saat ia melewati kebun cabai yang berwarna merah merona dan terlihat sangat menggiurkan.

"Aku yakin, buah ini pasti rasanya sangat manis seperti buah yang ada di dekat rumahku. Bukankah warnanya sama, sama-sama berwarna merah," ucap Sumi sembari memetik satu buah cabai.

Sumi tak sabar untuk melahapnya, karena perjalanannya memakan waktu yang cukup lama dan membuatnya kelaparan juga kehausan.

Ia begitu saja memasukkan cabai ke dalam mulutnya dan seketika wajah Sumi yang berwarna pucat itu memerah.

"Huekk! ga enak!" pekiknya.

Di saat itulah, tanpa sengaja ada seseorang yang melihat Sumi dari kejauhan.

Laki-laki bertubuh kekar dengan kulit hitam legam itu mengangkat parang yang ia bawa dan berteriak.

"Woi, maling!"

****

SUMIATI Where stories live. Discover now