"Rissa, semalam aku sudah mengatakannya padamu. Aku menyukaimu. Dan... Toh kita akan segera menikah, bukan? Jadi apa salahnya kalau aku meminta hak ku semalam? Toh sama saja. Kamu juga akan jadi milikku kan?" Grand mendekat dan memelukku.
Tubuhku menegang. Grand tidak mabuk semalam. Ia melakukannya dengan sadar! Aku takut ia berbuat seperti semalam lagi. Tubuhku seakan membuat peringatan. Refleks aku mendorongnya.

"Please, Grand... Jangan," kataku lirih. Tubuhku berguncang karena gemetar.

"Rissa, mandilah di sini. Nanti keluarlah setelah Papa dan Stella berangkat," Grand mengusap kepalaku dan mencium bibirku sekilas. Lalu ia keluar dari kamar.

Setengah berlari aku masuk ke kamar mandi Grand, dan membasuh tubuhku di bawah guyuran shower sambil kembali menangis.

Kenapa Grand tega melakukan ini semua padaku? Kenapa ia tidak sabar menunggu saatnya tiba nanti? Kenapa? Aku menangis hingga tubuhku menggigil. Sakit yang kurasakan pada tubuhku tidak sesakit perasaanku. Aku membencinya. Membenci semua sentuhannya. Membenci apa yang sudah diperbuatnya terhadapku. Aku benci Grand!

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Dua hari sejak kejadian terkutuk itu, aku menghindari Grand. Aku selalu mengurung diri di kamarku saat Grand berada di rumah.

Stella dan Papa Devan cukup puas dengan jawabanku yang mengatakan bahwa aku capek dan ingin istirahat setelah mengerjakan skripsi ku.

Malam ini, pintu kamarku diketuk dengan keras.
Aku membukanya dengan malas, dan bersiap menutupnya kembali jika Grand yang mengetuknya.

Kulihat Papa Devan dengan wajah panik sambil memegangi dadanya di depan kamarku.

"Rissa, aaah...Grand dan Stella...mereka kecelakaan," Papa Devan mengerang lalu ambruk.
Aku menjerit membuat Sri, pembantu di rumah ini dan Pak Hari, driver Papa bergegas menolong.

Aku membawa Papa Devan ke rumah sakit yang sama dimana Grand dan Stella dibawa setelah kecelakaan itu.

Sambil menunggu dokter memberikan pertolongan pada Papa Devan, aku berbicara pada dokter yang menangani Stella dan Grand.
Dokter setengah baya itu menggeleng lemah.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tampaknya Tuhan berkehendak lain. Mereka berdua tidak tertolong," Dokter itu menepuk bahuku dan meninggalkanku terpaku sendiri.

Aku menangis. Stella yang baik dan ceria, calon suamiku yang sudah memperkosaku, mereka berdua meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit ini. Sementara Papa Devan masih terbaring pingsan.

Aku perlahan melangkah menuju Stella dan Grand di baringkan.
Kutatap wajah tampan Grand.
"Kenapa kamu pergi, Grand? Mana janjimu akan menikahiku? Kenapa kamu melakukan semua itu jika sekarang kamu pergi meninggalkanku?" aku menangis lagi. Entah seperti apa wajahku sekarang. Terlalu berat rasanya menerima semua ini. Kenyataan ini terlalu pahit buatku. Meskipun aku membencinya, tapi ia tidak seharusnya meninggalkan tanggung jawab yang sudah menjadi konsekuensinya. Konsekuensi atas perbuatan menjijikkannya. Entahlah, apa lagi yang akan terjadi esok.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Aku duduk di meja makan bersama Papa Devan. Kehilangan dua orang anak yang dicintai, membuat Papa Devan murung.

Sudah hampir sebulan semenjak Stella dan Grand meninggal. Aku masih tinggal di rumah besar Papa Devan. Dan entah mengapa, akhir-akhir ini nafsu makanku menurun drastis. Tiba-tiba saja aku punya penyakit pusing dan mual yang cukup sering.

Saat ini pun mendadak aku merasa pusing, pandanganku berkunang-kunang.

"Kamu kenapa Ris?" tanya Papa Devan melihatku memijit pelipisku.

"Tidak apa-apa, Pa," aku berusaha tersenyum.

"Tapi wajah kamu pucat!" ujar Papa menatapku khawatir.

"Rissa... Rissa tidak..." pandanganku gelap seketika.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Aku membuka mata perlahan, kukerjapkan beberapa kali untuk membiasakan pupil mataku menerima cahaya.

Kulihat Papa Devan berdiri disampingku.

"Rissa? Kamu baik-baik saja, Nak?" laki-laki tua itu tersenyum padaku.

"Rissa kenapa, Pa?" tanyaku menahan mual. Bau obat di rumah sakit membuatku makin ingin muntah.

"Rissa, jujur pada Papa Nak. Apa kamu pernah melakukan hubungan dengan Grand?" tanya Papa Devan membuat wajahku merah padam karena malu.

"Maafkan Rissa, Pa. Rissa tidak bisa menghentikan Grand saat itu. Grand... Grand memperkosa Rissa," aku menangis lagi mengingat semua kejadian malam laknat itu.

Mendadak Papa Devan meraihku, menenangkanku dalam pelukannya.

"Maafkan Grand, Rissa. Maafkan anak Papa. Tapi kamu tenang saja. Kamu akan tetap menikah, anak itu akan tetap punya ayah," Papa Devan mengusap kepalaku lembut.

Aku tidak mengerti maksud ucapan Papa Devan.
"Tapi Pa, Grand kan sudah..."

"Bukan, Rissa. Bukan dengan Grand," lalu mengalirlah cerita masa lalu Papa Devan. Bagaimana terlukanya dia kehilangan orang yang dicintainya sepenuh hati, lalu meninggalkan anak laki-laki kecil dari wanita tercintanya di panti asuhan jauh dari kota asal mereka, sampai akhirnya mereka pindah ke kota yang sama dengan panti tempatnya meninggalkan anak laki-laki nya. Saudara tiri Grand!

"Pa, apa dia mau menerima Rissa? Rissa sudah...sudah..." aku tidak bisa meneruskan perkataanku. Terlalu menyakitkan buatku.

"Dia harus mau, Rissa! Demi menjaga nama baik keluarga kita, demi anak dalam kandunganmu!"

Aku terbelalak. Seolah ada petir menyambar ku.
"Apa maksud Papa? Apa aku...aku... hamil?" aku hancur sudah. Ada janin dalam rahimku yang setiap saat tumbuh dan berkembang. Anak yang seharusnya belum saatnya berada di sana.

Papa Devan mengangguk menatapku.

"Tidak mungkin, Pa! Ini tidak mungkin! Papa bohong kan?" aku menggeleng ingin mengingkari semuanya. Tapi melihat anggukan Papa, tubuhku lemas. Ada kesungguhan di mata Papa. Pertahananku benar-benar hancur berkeping-keping. Aku tak sanggup menatap ke depan. Masa depan yang perlahan ku tata dengan susah payah, kembali menjadi debu.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*











Sincerity of LoveWhere stories live. Discover now