二 (ni)

25 9 33
                                    

—Adzkia Raya Aisya—

Sesuai namanya, Adzkia yang berarti gadis cerdas. Siapa sih yang nggak tau dirinya?! Yang konon ia mendapat julukan sang Primadona sekolah. Namanya selalu terpampang di semua website sekolah. Sang aset sekolah yang selalu menyumbangkan medali di setiap bulannya.

Jika di kehidupan nyata sang famous selalu dibanggakan dan dijunjung, tidak dengan dirinya. Ia yang selalu kalut dengan kesendiriannya bahkan eccedentesiast dan bornout lekat dengan kehidupan aslinya.

Eccedentesiast, atau yang kita sebut dengan fake smile. Seseorang yang menyatakan dirinya eccedentesiast ialah orang yang menyembunyikan kesedihannya di balik senyum manisnya. Kaitannya dengan bornout, bornout adalah kondisi seseorang dalam masa stress, dimana orang tersebut lelah fisik, mental, dan emosionalnya yang mana ia rela mengorbankan kehidupan personal dan kesehatannya.

***
"Senyum dong, Ki," ujar Shila salah satu teman sekelasnya.

"Iya senyum dong, yuk, ke kantin," ajak Kirana.

"Emm, kalian duluan aja ya."

"Nggak mau ikut beneran kamu, Ki?" tanyanya sekali lagi.

"Emang nggak laper? Atau kamu mau nitip?" ucap Shila menawarkan diri.

"Nanti saja, nanti aku nyusul kalian," jawab Kia.

Jawaban Kia dibalas anggukan oleh kedua temannya tersebut, yang mana keduanya melangkah ke luar kelas meninggalkan Kia. Suasana yang sunyi dan mencekam berbalut semiliran angin mampu membuat bulu kuduk berdiri, kumandang bel tanda istirahat telah usai mampu mengubah situasi kelas kala itu. Derap langkah kaki mengisyaratkan sang legenda mulai memasuki ruangan. Ya, yang tak lain adalah Bu Calypso guru Seni Budaya karena mapel saat ini ialah mapel Seni Budaya. 'Sang Legenda' menjadi langganan orang-orang menyebutnya, yang konon sebutan itu berawal dari beliau yang suka menyembuhkan seseorang yang mengidap penyakit mental health, 'Dan janganlah saling me manggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. (QS al-Hujurat: 11).'

"Halo, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang semuanya," ucap Bu Calypso.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Bu," jawab murid-murid hampir serempak.

"Oke, baik. Kita melanjutkan pelajaran minggu lalu. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, seni adalah bentuk ekspresi manusia yang bertujuan untuk menghibur dan membuat orang bahagia. Seni yang hebat memanifestasikan keindahan dan memunculkan sentimen yang kuat. Sejatinya prinsip seni ialah bukan untuk menggambarkan, melainkan untuk membangkitkan. Seni harus menjadi sesuatu yang membebaskan jiwamu, memancing imajinasi dan mendorong orang untuk melangkah lebih jauh, objek seni bukanlah untuk mereproduksi realitas, tetapi untuk menciptakan realitas dengan intensitas yang sama. Dan untuk kali ini saya akan menugaskan kepada kalian terkait seni rupa!!" jelas Bu Calypso.

"Asal jangan susah-susah deh, Bu, tugasnya!!" sambung Resta sang ketua kelas.

"Gampang, ibu tidak akan membebankan kalian, karena tugas ini juga akan berkaitan dengan diri kalian masing-masing. Tangan, kepala, dan hati kalian akan menyatu ketika membuat seni rupa, tidak ada keharusan dalam seni karena seni itu bebas. Namun yang perlu saya tambahkan kepada kalian, tugas ini berlaku secara kelompok, dengan 5 anak per kelompoknya. Arina, Maya, Flo, Cia, dan Kia kalian kelompok 1–"

"Aduhh, ngapain si ... ada anak itu? Males bangett."

"Iya, kenapa harus sekelompok sama dia?"

"Idihh, najis gue. Mending gue tukeran kelompok."

Kia yang mendengar akan hal itu hanya bisa tertegun dan melirihkan suaranya, "Bu, boleh nggak tugasnya saya kerjakan sendiri saja, individu?" tanyanya sembari mengangkat kelima jari tangannya.

"Ya nggak bisa, namanya aja tugas kelompok, kekompakan dan kreativitas anggota satu tim akan diuji di sini ...."

"Tapi, Bu ...."

"Sombong lo gedein, merasa si paling jago lu," ujar salah satu siswa.

"Cihh ... si paling pinterr. Iya kita tau kog kita nggak sepinter kamu. Kita cuma bebann!!"

"Bukan gituu--" Ucapan Kia terhenti saat riuh sorakan tertuju padanya.

"Ah, sudahlah, bukankah kalian sendiri ya, yang awalnya tak mau sekelompok denganku? Lagipula aku juga sudah terbiasa sendiri," gumamnya dalam hati.

Suasana kelas pecah bak pasar yang baru saja buka diskonan. Sebagian anak melantunkan syair lagu, sebagian anak lainnya bersenda gurau bersama, berceloteh ria sambil menggosip pastinya. Lain dengan diriku yang masih termenung berdiam diri di sudut kelas, ingin sekali bergabung bersama dengan mereka, tapi apa mungkin mereka menerima? Pertanyaan itu selalu terbesit di benakku tiap harinya. Jika aku berkata 'Aku ingin berhenti sekolah?' mungkin itu hanya angan-anganku saja, bagaimana mungkin aku berhenti yang mana aku sekarang sudah berada di kelas pertengahan kelas, bagaimana nasibku kedepannya nanti? Ahh, imajinasiku membuyarkan lamunanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the Power of Prayer and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang