Sebuah Harapan

36 6 1
                                    

****

"Kamu percaya harapan nggak?"

Angin masih melambai dengan tenang memberikan kenyamanan yang membuat kedua nya masih betah menghabiskan waktu istirahat disana. Tanpa peduli tentang bakso yang akan segera habis atau nasi goreng yang kemungkinan tidak ada lagi sisa.

Kedua nya masih duduk pada pembatas semen disana. Masih menikmati bagaimana orang-orang ataupun kendaraan kesana-kemari dari atas. Sebuah hal yang bahkan tidak pernah Dito bayangkan sebelum nya.

Tidak sebelum dirinya bertemu dengan Nadia. Si cantik dari kelas IPA 3. Si juara satu berturut-turut yang namanya sering kali menjadi juara satu dalam perlombaan debat Bahasa Inggris. Nadia Daneswari, kebanggaan Pelita Jaya.

Mengerjap pelan Dito kembali pada kesadaran nya tentang pertanyaan yang gadis itu lontarkan. Harapan ya? Semua orang juga tau bagaimana tidak ada artinya kata tersebut untuk hidup seorang Ardito Lazuardi. Tidak ada barang sedikitpun. Harapan tidak pernah menjadi teman hidupnya, never.

"Engga."

Jawaban singkat nya berhasil membawa kembali pandangan penuh tanya itu kepada nya. Yang membuat nya tanpa sadar mendengus, Nadia terlalu baik untuk dunia yang kejam nya bukan main ini.

"Kenapa?"

Itu dia, kenapa? Kenapa dia tidak percaya dengan yang namanya harapan?

"Karena emang nggak ada."

Nadia masih memandang nya terang-terangan, mata nya yang berkilau cantik itu tidak takut menatap lurus pada netra legam nya yang kosong.

"Ada kok. Banyak yang bisa kamu harapkan."

"Harapan cuma kata penenang tanpa arti buat gue, kalo lo mau tau."

Netra tersebut masih memandang nya namun sekarang dengan pandangan mencelos dan raut wajah yang melunak. Satu dari sekian banyak nya ekspresi yang sudah Nadia keluarkan untuk nya siang ini.

"Tapi bukan nya kalau kita nggak punya harapan, rasanya tuh hambar ya?"

Sudut bibir nya terangkat berikut membuang tatap nya pada apapun yang bisa ia tatap dari atas sini. Kecuali mata polos Nadia.

"Hidup gue bahkan udah lebih dari hambar, Nad. Kosong."

"Makanya gue nggak mau berharap apa-apa." Lanjut nya pelan namun pasti.

Nadia dengan jepit rambut yang terlihat begitu pas pada rambut panjang nya, hanya bisa menarik senyum kecil. Nadia tidak tau sudah sekejam apa dunia pada si juara 1 dari kelas IPA 1 tersebut, namun yang pasti rasa sakit yang dirinya rasakan tidak ada apa-apa nya dibandingkan dengan apa yang di rasakan oleh Dito yang laki-laki itu simpan rapat-rapat pada netra legam nya.

"Semesta jahat banget ya sama kamu?"

Dito tidak menjawab apa-apa tapi kedua alis nya mengernyit bersamaan, mencoba mencari tau kata-kata apa lagi yang akan Nadia keluarkan dari bibir mungil nya.

"Padahal kamu bisa berharap sebebas mungkin. Tapi semesta sekejam itu sampe bikin kamu nggak percaya lagi sama sebuah harapan."

Hi, Bye Papa! Where stories live. Discover now