7. Perubahan

Mulai dari awal
                                    

"Maaf, saya nggak bermaksud apa-apa. Saya hanya mau mengusap air mata kamu."

Jemima menggeleng tegas. "Lain kali nggak perlu!" marahnya.

Mungkin Aryan mengira Jemima yang biasa saja ketika tidur di ranjang yang sama akan merespon biasa juga jika mereka bersentuhan. Nyatanya, Jemima masih sangat tak suka dengan skinship yang terjadi diantara mereka berdua.

"Oke, sekali lagi saya minta maaf. Jadi, kamu mau berdiri di sana terus?"

"Saya masih nggak bisa tidur, Tuan saja yang istirahat lebih dulu."

"Terus kamu mau ngapain?"

"Saya mau nonton TV saja di bawah."

"Mama akan ngomel sama kamu."

"Kalo gitu saya akan cari makanan di dapur."

"Kamu udah makan. Baru aja. Yang kamu butuhkan bukan makanan, Jemima."

"Terus maksud Tuan saya butuh apa?!"

Aryan menghela napasnya. Dia sebenarnya sudah lelah dengan urusan pekerjaan, dan sekarang dia masih harus mengurus seorang perempuan hamil.

"Pakai baju panjang, pakai jaket juga."

Aryan lebih dulu membuka lemarinya. Pria itu memberikan jaket pada Jemima dan juga mengambil untuk diri pria itu sendiri.

"Mau ke mana, Tuan?"

"Ke tempat ibu kamu."

***

Disinilah akhirnya mobil Aryan berhenti. Mereka masih harus berjalan masuk ke gang hingga kontrakan yang ditinggali ibu Jemima.

"Kamu tunggu di sini, ya. Biar saya yang masuk dan minta ibu kamu ke sini."

Jemima tidak menolak sama sekali. Perempuan itu mengangguk dan menunggu di mobil dengan sabar. Katrina sudah memberikan aturan pada ibu Jemima agar tak datang ke rumah sembarangan, dengan arti lain dilarang menemui Jemima apa pun alasannya karena tak mau ada teman arisan wanita itu yang mengetahui skandal Aryan yang menghamili anak pembantu. Karena sudah berbulan-bulan tak bertemu, tak heran Jemima merasakan rindu. Jemima berharap ibunya segera datang dan dia bisa memeluknya.

Baru kali ini Jemima benar-benar merasakan tak sabar karena menunggu. Padahal biasanya dia bisa bersabar.

Ketika pintu mobil terbuka, Jemima sudah akan tersenyum lega. Namun, mendapati ibunya yang dibantu berjalan oleh Aryan, hati Jemima mencelos.

"Ibu kenapa? Ibu sakit?"

Wanita itu masih saja berdalih demi tak membuat Jemima panik.

"Kita kayaknya harus bawa ibu kamu ke rumah sakit. Kata tetangganya udah seminggu dari dua klinik nggak sembuh juga."

Jemima menangis, jadi ini alasannya merasa tak tenang dan sangat merindukan ibunya.

"Iya ... Tuan, saya mohon bawa ibu saya ke rumah sakit. Saya nggak mau ibu kenapa-napa."

Aryan tidak membutuhkan waktu lebih lama untuk segera mengemudikan mobilnya ke rumah sakit. Untung saja jalanan tidak macet secara berlebihan hingga mereka sampai ke rumah sakit dengan cepat.

Aryan dengan sigap meminta pihak rumah sakit langsung menangani ibu Jemima yang disebutkan sebagai mertuanya tanpa malu. Jemima kebingungan menempatkan diri karena sejak awal dirinya tak diakui sebagai menantu di rumah pria itu.

"Kamu tunggu di sini, saya urus administrasinya supaya bisa langsung masuk kamar."

Ya, kondisi ibu Jemima memang harus dirawat. Kondisi pencernaannya tak baik-baik saja. Wanita itu juga membutuhkan infus supaya bisa lebih fit lagi.

"Ibu kenapa nggak kasih tahu, sih, kalo sakit?"

Wanita itu menggeleng lemas. "Ibu nggak apa-apa."

"Ibu udah lemes begini masih bilang nggak apa-apa?!"

"Kondisi ibu bahkan lebih baik ketimbang kamu, Nak."

Seorang ibu tak mungkin tak bisa merasakan apa yang terjadi pada anaknya. Itu juga yang terjadi dengan ibu Jemima.

"Kalo ibu tahu aku nggak lebih baik di rumah itu, kenapa ibu keras kepala minta tanggung jawab mereka?"

Sekali lagi ibu Jemima menggelengkan kepala. "Kondisi kita akan semakin terpuruk kalo ibu diusir dan nggak punya kerjaan. Sedangkan kamu dalam kondisi hamil. Kalo ibu Katrin culas sama kamu, seenggaknya tuan Aryan lebih banyak diamnya."

Jemima tidak tahu harus mengatakan apa mengenai Aryan. Pria itu sejak awal memang lebih banyak mendiamkannya. Jika bicara hanya kalimat ketus yang keluar. Namun, belakangan pria itu memang lebih manusiawi. Jadi, Jemima tidak tahu harus menilai pria itu jahat atau sudah berubah di depan ibunya.

"Jangan pikir macam-macam, Jemima. Ibu akan baik-baik saja untuk kamu. Nanti, kalo keadaan sudah membaik, kita pasti bisa kumpul bareng lagi."

Jemima tidak tahu kapan keadaan akan membaik. Dia hanya tahu bahwa segera dia akan mencari cara pergi dari rumah sialan itu dan membangun kehidupan yang baru.

Setelah pembicaraan tersebut, ibu Jemima akhirnya dirawat di ruangan yang sungguh mewah. Perasaan tak nyaman muncul, Jemima tidak merasa pantas mendapatkan ini. Jadi dia mengajak Aryan bicara di luar ruangan agar ibu perempuan itu tak mendengar.

"Ruangan ini berlebihan, Tuan. Kalau ibu Katrina tahu—"

"Kalau begitu mama nggak perlu tahu. Kamu fokus saja ke kandungan kamu dan ibu kamu akan baik-baik saja di sini. Saya nggak akan membiarkan ibu kamu dibiarkan di ruangan kelas bawah. Di sini, ibu kamu akan diprioritaskan."

"Tapi, Tuan ... saya nggak tahu harus menggantinya gimana. Kalau gaji saya—"

"Saya bilang jangan pikirkan apa pun, Jemima! Sudah. Saya nggak mau kamu terbebani. Bagaimana pun, kamu adalah ibu dari anak saya. Kamu nggak perlu membayar apa pun, anggap saja kamu yang mengandung anak saya sudah menjadi imbalan yang setimpal."

Jemima tak percaya Aryan sudah berubah. Namun, dia juga merasa lega karena pria itu setidaknya tak banyak berucap kejam lagi.  Semoga saja pria itu juga tak keberatan jika nanti harus mengurus sendiri anak yang sudah Jemima kandung ini. Sebab sepertinya Aryan sangat peduli pada anaknya dan tak akan menelantarkannya. Dan jika memang benar begitu, lebih mudah bagi Jemima untuk pergi dan memulai hidupnya sendiri.

Her Wings / TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang