PART 17 (24 JAM)

77 52 8
                                    

"Kita bernegosiasi soal rasa. Sayangnya, di akhir kisah kita justru mengarah ke persimpangan yang berbeda.”

Sudah berjam-jam meringkuk di bak mandi, membiarkan tetes demi tetes membilas segala penat, malangnya tidak sedikitpun dari air-air itu yang berhasil menyingkap penat.

Aku masih saja terjaga, tidak lupa - rasanya, baru mendengar kabar itu satu detik lalu. Padahal, 24 jam hampir berlalu, tetap saja tidak ada yang bisa menghilangkan kebenaran itu dari duniaku.

Andai bisa, aku ingin menghilang saat itu juga. Tidak ingin bertahan lebih lama, terlalu hancur jika meneruskan sisa perjalanan yang hanya memberi rasa duka. Semuanya terlalu tiba-tiba, datang tanpa di duga, tidak sedetik pun membiarkanku melupa. Sekarang, bagaimana caranya untuk tetap baik-baik saja, karena saat ini aku benar-benar ingin tiada?

Are you okay?” Sebuah suara berhasil menyentak, saat aku keluar dari kamar mandi. Lamat-lamat aku menatap wajahnya. Ia hanya diam, sambil membungkus tubuhku dengan handuk. Apa ia menungguku sejak tadi?
"Minum dulu, kamu bisa sakit kalau berendam terlalu lama," timpalnya lagi.

Tidak ada reaksi, aku hanya menelaah binarnya dengan sorotan putus asa.

"Kamu baik-baik aja?" ulangnya lebih lembut.

“Pura, apa ada rumah sakit yang bisa menyembuhkan luka di sini?” Menyentuh dadaku. “Sakit sekali, Pura … aku gak bisa napas, rasanya seperti dicekik.” Cairan bening itu kembali menetes tanpa bisa dikendalikan.

Pura tidak berkedip, ia bergeming – hanyut pada euforia nespata yang sedang kutunjukkan di depannya.

“Aku emang gak tau seberapa besar luka yang kamu terima, tapi aku percaya kamu pasti bisa melewati ini, Are … Alka bilang, kamu wanita yang kuat, mungkin ini akan sangat menyakitkan, tapi kamu menerimanya - karena ini faktanya, inilah kebenaran yang ingin kamu cari tau selama ini.”

Aku mengusap mata, menggigit bibir dengan kuat, melampiaskan kecewa itu hingga robekan di dalam bisa sedikit terasa baik.

"Aku tau, ini berat - tetap aja ...."

"Aku gak sanggup, Pura," isakku sesegukan.

Ia menuntun ke sofa. "Alka selalu muji kamu, katanya - kamu bukan wanita yang mudah menyerah."

“Dia salah, Alka gak tau apa-apa ... aku bukan wanita yang kuat, Pura … aku lemah, bahkan lebih lemah dari remahan debu, buktinya aku gak bisa nerima semua rasa sakit yang dia kasih, entah udah sebanyak apa air mata itu aku jatuhkan untuk dia … tetap aja, dia cuma diam kayak patung dan jadi penonton.”

Pura meneguk saliva, membasahi bibirnya yang kering. Ia pun pasti bingung menyikapi kejadian ini.

“Jadi sekarang, apa yang harus aku lakukan buat bantu kamu, Are?”

Aku menyeringai. "Bantu? Jangankan kamu, aku sendiri aja gak bisa nolong diri aku, Pura, karena yang paling aku butuhkan saat ini cuma lari dari segalanya, pergi ke mana aja, aku gak bisa nerima apa pun lagi, rasa sakit ini udah melewati batas.”

Namun, masalahnya - jika lari, apa ada tempat yang bisa dikunjungi? Apa ada rumah yang bisa membuatku lupa dengan segalanya? Apa ada penghapus yang bisa menghapus sebuah ingatan? Aku butuh penyangkalan, bukan kebenaran sebab itulah yang akan membuatku bertahan.

“Apa ini hidup yang sebenarnya, Pura?” lirihku sambil mendesah. "Kenapa semuanya jadi se-kacau ini?”

Pura memandang jauh. “Hidup itu ibaratkan sebuah pohon, Are … gak semua pohon akan memberimu bunga, gak semua bunga memberimu buah dan gak semua buah bisa kau cicipi … sama seperti kehidupan, gak semua masalah itu merugikan, kadang beberapa masalah sengaja di desain untuk mendewasakan, membijakkan dan membuat kita kuat, Ar.”

“Tap ….”

Pura tidak menghiraukan ucapanku. Ia bertahan. “Are, asal kau tau … Alka, melakukan semua itu karena permintaan adiknya … dia terlalu mencintai, Rewa, sampai-sampai dia gak punya kekuatan untuk melawan kehendak, Rewa, termasuk ….”

“Tapi gak gini caranya, Pura, itu bapak aku … Rewa udah bunuh bapak, dan Alka sengaja nyembunyiin semua fakta itu?” Suaraku tercekat.

Ia mengusap kepalanya, tampak frustrasi. “Awalnya, Alka udah nyuruh Rewa buat tanggung jawab, tapi Rewa ngancam akan bunuh diri kalau sampai kamu tau dialah yang udah buat bapak kamu celaka. Alka kira, Rewa cuma sekadar ngancam, tapi dia benar-benar melakukannya, Are, Rewa melukai dirinya sendiri di depan Alka … mana ada seorang kakak yang tega lihat adiknya gak berdaya? Posisi Alka juga serba-sulit.”

“Tapi dia tega nyakiti aku, Pura.” Aku memejam mata, meredam emosi yang mendidih. “Udahlah, gak ada gunanya lagi ... Alka benar, gak akan ada yang berubah, bapak udah pergi dan semuanya terlalu rumit untuk diulang … sekarang, aku gak tau gimana caranya buat maafin dia.”

“Are, Alka itu sayang sama kamu, dia juga tersiksa selama ini.”

“Diamlah, Pura ... lagian, udah ada Aras.”

“Mereka cuma sahabat, Are ... dulu, Alka emang jatuh cinta sama, Aras, tapi sekarang, kamu udah berhasil menggantikan posisi Aras dalam hidupnya. Alka, cuma terlalu bodoh buat jujur sama perasaannya sendiri ….”

“Pura, sebesar apa pun perasaan Alka, kalau kami gak berada dalam satu garis jodoh yang sama, percuma aja … semua rasa itu akan sia-sia. Kayak ucapan dia waktu itu, gak semua hati harus menyatu, dan gak semua yang patah bisa tumbuh," tuturku seakan sedang membohongi nurani sendiri.

Pura menarik napas. “Andai aja dulu, aku gak nyuruh Alka buat dekati kamu ….” Sontak, melirik tajam. “Kepergian Alka ke kota kamu itu karena dia ingin melupakan, Aras, Are dan akulah yang maksa dia buat segera move-on dari, Aras, dan entah gimana caranya tiba-tiba aku lihat foto kamu di laman web perusahaan kalian dulu. Aku rasa, kamu cocok buat Alka. Ya, ini sepenuhnya kesalahan aku – aku gak tega lihat Alka terpukul karena kepergian Aras, aku nyesal karena udah buat kisah ini semakin rumit, Are … aku benar-benar nyesal.”

Apa lagi ini, bukankah semuanya terlalu tiba-tiba, mengapa segalanya terbongkar secara serempak? Seharusnya fakta demi fakta bisa datang secara lambat, tidak terburu-buru. Sehingga aku bisa melakukan persiapan terlebih dahulu.

Aku marah? Entahlah, sudah terlalu lelah. Sekalipun, awalnya hanya sebatas pelarian, aku bisa apa – ketika rasaku benar adanya.

“Are, apa kau marah? ….” Saat aku membisu.

“Entahlah, Pura, mungkin inilah jalannya ….”

Aku berdiri, beranjak ke dalam. Pura tidak lagi menahan seperti biasanya. Aku peluk lutut yang menggigil, terkulai di sudut pintu. Kosong, hening - harus kuceritakan pada siapa semua lelah ini? Jika dipendam, terlalu penuh - jika diungkapkan terlalu rumit, lalu apa solusi yang tepat?

Kini, aku tidak bisa memperbaiki apa pun dan tidak mampu menyusun segala hal yang telah berserakan. Hanya bisa mencoba tetap waras menghadapi segalanya, melanjutkan sisa perjalanan tanpa dirinya. Walaupun perih, itulah yang perlu diusahakan.

Namun, bisakah aku memenangkan pertarungan ini, sebab sekarang hatiku tidak bisa disebut bernyawa. Ia telah mati saat tahu Alka berubah dan sekarang, ia semakin binasa saat tahu bahwa seseorang yang sangat kupercaya, telah meluluhlantakkan segalanya.

Alka, beri tahu aku - kisah ini harus kuakhiri dengan tanda baca yang mana?

Garis Rasa (END) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu