10 End

2.6K 213 8
                                    

Bumantara meneduh kala semburat senja menjadi penghantar pulang seorang anak yang telah dirindu oleh sang pencipta.

Pulang

Sore itu menjadi sore yang kelabu, sore yang tak lagi ramai, dan sore yang tak diinginkan ketika ia pulang ke rumah.

Sudah terhitung 2 minggu sejak kejadian dimana adik bungsunya belum juga memberikan tanda-tanda akan membuka matanya.

Sejak saat itu ia dan kedua saudaranya akan rutin pergi ke rumah sakit untuk sekedar melihat bagaimana mata lentik yang ia rindukan tetap terpejam.

Hatinya terasa sakit, mengingat saat pulang dari kampus ia akan disambut senyum sibungsu yang biasanya sedang duduk menonton tv, sudah wangi dan sudah tampan. Setelahnya mereka akan berkumpul bersama, berbincang menceritakan hari yang dilaluinya.

Kali ini terasa sangat sepi, hatinya terasa kosong seperti ada sesuatu yang meninggalkan dirinya.

Haechan duduk di tepi kasurnya melihat ke arah jendela kamarnya yang terhubung dengan pemandangan luar. Hari ini mendung, rasanya sunyi sekali dan hanya terdengar suara dari jam yang terpampang di dinding kamarnya. Matanya menelisik di setiap sudut tempat ternyamannya itu, perlahan tubuhnya ia rebahkan melihat dinding kamar yang terhias stiker matahari yang ketika gelap ia akan bersinar.

Bunda menempelkan stiker itu, katanya itu seperti Haechan yang selalu bersinar walau di kegelapan sekalipun.

Bunda bilang walaupun ia seperti matahari tetap saja ada kala dimana sinarnya juga meredup di belakang awan mendung. Awan tidak jahat bukan? Bukan maksudnya membuat bumi kehilangan sinar. Tetapi, ia memberikan jeda untuk setidaknya matahari bisa beristirahat barang sebentar untuk dirinya sendiri.

Sama halnya dengan Haechan, bunda selalu berpesan jangan terbiasa untuk selalu ceria, jika ingin menangis maka ya menangis, jika ingin berteriak ya harus berteriak, bunda bilang bukan karena ia seorang laki-laki ia harus menyembunyikan semua perasaannya.

Bunda benar, kali ini pertahanannya runtuh. Bahunya mulai bergetar dengan isakan yang semakin terdengar jelas, sejak sibungsu kambuh Haechan bahkan tak memiliki waktu untuk hanya menangisi keadaan yang ada. Ia selalu berusaha terlihat tegar dengan keyakinan bahwa semuanya akan lekas membaik.

Rasanya sakit sekali, ia rindu bundanya, ia rindu adiknya ia tak ingin hari itu kembali terulang lagi. Ia pukul beberapa kali dadanya yang mulai sesak karena kesulitan mengambil nafas. Tolong katakan padanya bahwa ini hanya sementara, kesedihan ini tak akan berangsur lama.

Lukanya bahkan belum mengering sejak bunda tiada, akankah ia harus mendapat luka yang kesekian kalinya.

Ikhlas itu bohong, tawa itu paksa. Nyatanya semua di haruskan untuk berjalan normal di atas kerinduan yang curang.

...................

Hari itu menjadi saat yang bahagia pasalnya tetiba adik semata wayang dari istrinya mengabarkan bahwa sibungsu telah membuka mata dengan senyum manis yang menghiasi wajah mungilnya.

Tuhan begitu baik bukan?

"Nana rindu ayah, rindu kakak, rindu abang, rindu mas, rindu om jae juga".

Jaehyun mendekat menyisir surai yang lebih muda dengan lembut "lihatlah dia bahkan sudah bisa berucap manis, sehat selalu Nana".

ADEK || 00Där berättelser lever. Upptäck nu