0.2 - Ayo bertahan!

59 3 1
                                    

Hanafi

Kalau ditanya panik atau enggak, menurut gue sikap Hanif yang mencoba melucu untuk mencairkan suasana tapi gak lucu itu cukup untuk menjelaskan semuanya. Gue sangat panik. Kayak lagi mimpi masuk ke film zombie, bener bener gak nyata. Tapi kenyataannya begini.

Dada gue sesak sejak kembali memegang busur dan anak panah yang sudah lama itu. Iya, itu punya gue dulu waktu kecil, tapi gue kasih Mama sebagai harapan agar Mama gak pernah lupain anaknya yang satu lagi ini.

Sedikit penjelasan. Tansefera adalah salah satu negara paling utara di peta dunia. Sebuah negara yang hanya memiliki satu pulau panjang dan besar yang menjadi bagian paling penting dari negara ini. Setelah bertahun-tahun memiliki sistem pemerintahan monarki, akhirnya negara ini berubah pemerintahan menjadi republik dua puluh tahun yang lalu.

Bahasa Tansfe adalah bahasa kuno yang sudah jarang digunakan lagi, karena para rakyatnya telah beralih pada bahasa inggris yang lebih modern. Tansfe itu seperti bahasa sansekerta atau bahasa latin yang biasa digunakan orang-orang dulu, pun bahasa itu lebih dikuasi oleh keluarga kerajaan saja.

Lasganar menjadi ibu kota Tansefera yang berada di pertengahan bagian utara Tansefera. Bokap gue ada di kota sampingnya Lasganar, yaitu Astenesia. Sedangkan gue, Hanif dan Mama ada di Tansefera tengah, tepatnya di kota Bartas.

"Naf, kita lewat hutan aja. Sampai mobil gak bisa masuk hutan lebih dalem baru kita jalan kaki." Mobil yang sudah gue jalankan menuju jalan ke kota langsung gue pelankan lajunya. Dahi gue mengernyit, sejak tadi suasana kota agak sepi, mungkin sekitar 20% keramaian yang berkurang di kota ini.

"Ngapain, Nif?" Gue atau Hanif pernah jelasin blom sih? Gue sama Hanif gak pernah panggil satu sama lain pake embel embel 'kakak' atau 'adek' karena percaya mungkin kami sama-sama anak pertama dengan beberapa teori, contohnya teori tertukarnya kam...

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

"Ngapain, Nif?" Gue atau Hanif pernah jelasin blom sih? Gue sama Hanif gak pernah panggil satu sama lain pake embel embel 'kakak' atau 'adek' karena percaya mungkin kami sama-sama anak pertama dengan beberapa teori, contohnya teori tertukarnya kami saat baru lahir atau teori kakak yang lahir terakhir karena mendorong adiknya —walau dalam kasus kami ini tidak lahir normal sih— dan masih banyak lagi.

"Kalau zombie itu udah menyebar di pusat kota kita bakal lebih terkepung, soalnya pasti ada banyak orang di pusat kota." Gue memberhentikan mobil di tepi untuk memberikan waktu gue berfikir. Hanif ini tipe pelaksana dan pemerintah sedangkan gue adalah tipe orang yang akan memikirkannya lebih dulu.

Gue menatap Hanif penuh harapan agar dia mau menyetujui usulan gue ini, "Kita jalan dijalan biasa, sampai ada indikasi zombie baru kita ke arah hutan."

Terlihat sekali Hanif mau protes tapi urung dan langsung menyetujui usulan gue, dengan wajah senang, gue mengendarai mobil sampai ke pusat kota. Saat dirasa aman gue melajukan mobil dengan kecepatan lumayan tinggi menuju perbatasan kota, sampai melewati perbatas kota pun tidak ada indikasi zombie.

Sepertinya kamu telah melewati dua kita sekaligus, sudah mengisi bensin di tempat yang tersedia karena takut persediaan tidak cukup. Kami sudah cukup tenang karena sudah merasa lebih jauh dari bagian selatan negara ini. Waktu pun sudah menunjukkan tengah malam, Hanif telah sejak tadi tertidur sedangkan gue malah merasa pegal-pegal karena terus mengemudi.

LAKARA - LHS & SHBDär berättelser lever. Upptäck nu