4. Resiko Backstreet ya Gini

173 30 2
                                    

"Hari ini kamu jadi ikut lomba?" tanya Papa saat berpapasan dengan Keira di ujung anak tangga. Papa sudah memakai setelan rapi hendak berangkat ke kantor. "Mau Papa anterin ke sekolah?"

Keira menyembunyikan punggung tangannya yang diperban ke belakang tubuh, takut papa khawatir.

"Jadi, Pa. Lombanya masih nanti jam sepuluh." Keira tersenyum tipis. "Lagian aku juga belum sarapan sama ganti baju. Nanti Papa malah telat. Biar aku berangkat sama Pak Teguh aja."

Papa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Papa beneran pengin nganterin kamu, Kei. Tapi Papa ada rapat di luar kota hari ini. Kamu beneran nggak apa-apa?"

Sejak Mama meninggal, Papa jadi gila kerja. Dalam satu minggu, Papa bisa pergi ke luar kota tiga hingga empat hari. Jadi dari kecil sampai sekarang, Keira lebih terbiasa dengan keberadaan Escal daripada Papa. Meski begitu, Keira sangat bersyukur karena Papa masih menyempatkan diri untuk memperhatikan sekolah Keira.

"Iyaaa." Keira mendorong punggung sang papa main-main. "Udah sana Papa berangkat. Kalau Papa khawatir, nanti biar aku minta Kak Escal buat nemenin."

"Bener, Escal. Kayaknya dia jarang banget ke rumah belakangan ini. Kamu lagi berantem sama dia?" Papa menatap Keira dengan sorot menyelidik. "Bilang aja. Biar nanti Papa ngomong sama Om Bima."

Bibir Keira mengerucut. "Papa apaan sih. Nggak usah deh ngadu-ngadu sama Om Bima. Aku sekarang kan udah SMA. Kalaupun ada masalah, aku bisa selesaikan sendiri."

"Oh ya? Sejak kapan kamu tumbuh dewasa? Kamu masih keliatan kayak bocil ingusan di mata Papa." Papa mengacak puncak kepala Keira gemas. "Kamu selalu bisa ngandelin Papa, Keira. Jangan ragu buat ceritain semuanya."

Bola mata Keira terasa panas. Dia memeluk sang papa erat-erat. "Makasih, Pa."

Papa memang selalu berusaha untuk membuat Keira nyaman berada di dekatnya, tetapi, tetap saja. Berdua dengan Papa tak sehangat saat bersama Mama.

***

Sial.

Padahal kemarin lukanya enggak sesakit ini.

Waktu bangun tidur tadi, Keira merasa punggung tangannya kebas dan berdenyut menyakitkan. Sialan emang si Julia. Awas saja. Kalau nanti tiba waktunya Escal mengumumkan Keira sebagai tunangannya, orang pertama yang bakal Keira tertawakan adalah Julia!

Berjalan sendirian di koridor, Keira bergerak menuju ruang OSIS. Keira butuh lihat wajah Escal buat recharge energi sebelum lomba.

"Bukannya persiapan buat lomba, tapi malah keluyuran." Arran datang dari arah berlawanan. Rambut cowok itu acak-acakan dan kemejanya kusut. Dia menatap Keira dengan sorot aneh. "Gimana sama luka lo? Udah baikan?"

"Bukan urusan lo," balas Keira, ketus. Yang Keira butuhkan sekarang bukan kekhawatiran Arran, melainkan semangat dari Escal.

"Mau ketemu Escal?" tanya Arran, saat Keira melewatinya. "Dia nggak ada di ruang OSIS, lho."

Langkah Keira langsung berhenti. Dia menatap Arran dengan sorot tak percaya. "Tahu dari mana kalau Kak Escal nggak di sana?"

"Hari ini kita ada latihan basket, persiapan tournament minggu depan," balas Arran, tenang. "Jadi gue yakin kalau idola lo ada di sana."

"Oke, makasih." Keira langsung belok ke koridor kiri. Dan dia pikir Arran udah pergi, tapi cowok itu malah berjalan dengan tenang di sampingnya.

"Lo beneran tunangan sama Escal?" tanya Arran lagi. Dia memiringkan kepala untuk memandang Keira lekat. "Atau lo cuma fans fanatiknya doang? Tapi gue akuin sih. Kemampuan mengarang lo emang patut diacungin jempol. Seenggaknya kalau gagal jadi violinist, lo bisa jadi penulis."

Lovascal : My Lovely KeiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang