PROLOG

50 7 3
                                    



Alarm jam elektronik mejaku menyala. Karena jam itu merupakan jam radio, alarmnya berupa siaran radio harian.

"Selamat pagi wahai Indonesia. Hari baru sama dengan perjuangan baru dalam negara berkembang ini. Ada yang berjuang dengan melindungi masyarakat. Ada yang berjuang dengan bekerja untuk keluarganya. Dan, ada juga yang berjuang di belakang meja belajar.

"Tentunya, semua berjuang demi bertahan hidup.

"Bicara soal bertahan hidup, mari kita buka hari ini dengan lagu oleh Soundgarden. Lagu ini berjudul, The Day I Tried to Live. Sesuai dengan tema hari ini ya. Perjuan –."

Siaran itu berhenti seiring tanganku menghantam tombol alarm. Klik.

"HHoooaahhh....," rintihku seiring aku menganjakkan setengah badanku di atas tempat tidur.

Walaupun aku telah beranjak, aku tidak bisa bergerak. Semua otot pada tubuhku terasa seperti sedang berteriak. Aku merasa seperti ada rantai yang memaksaku untuk kembali berbaring, tetapi isi kepalaku berteriak untuk segera berdiri.

"Seinginnya aku untuk tidur Kembali, aku memiliki tanggung jawab lain yang harus aku hadapi," itulah yang aku ucapkan kepada diriku sendiri.

Setiap hari.

Setiap jam.

Setiap detik.

Aku harus mengingatkan diriku akan hal itu berulang dan berulang kali. Karena jika aku membiarkan, aku akan mendengar, "Apa gunanya? Aku tidak punya jejakku sendiri. Semua tidak ada arti.

"Apakah akan lebih mudah saat mati?"

Tetapi, aku tidak boleh mati. Aku tidak boleh.

Untuk menghindarkan diriku berpikir seperti itu, akupun melompat dari kasur. Selimutku pun terhempas karena tenagaku.

Segera aku merapihkan sprei kasurku dan melipat selimutku. Bantal pun aku sejajarkan Kembali.

Kemudian aku bergegas mengambil sapu yang tergantung rapih di belakang pintu kamarku. Dari sudut ke sudut aku menyapu kamarku, membersihkannya dari debu dan sampah-sampah lain yang aku tinggalkan sebelumnya.

Usai aku membersihkan kamar, aku bersiap dan memakai sepatu olah ragaku. Aku tidak mengganti bajuku karena naju tidur ini dapat aku gunakan juga sebagai pakaian olah raga.

Terik Mentari jam enam pagi menjambut seiring pintu kamarku terbuka.

Terik itu menyambutku hangat, seakan akulah sahabat dia yang sudah lama tidak bertemu.

Aku ingin membalas mentari itu.

Aku ingin bisa menyambut dia dengan hangat.

Nyatanya..., aku tidak merasakan apa-apa. Seakan aku tidak pernah mengenal sang mentari.

Aku hanya merunduk dan mengambil langkah untuk berlari.

Aku tidak mau mengangkat wajahku. Mataku hanya terfokus pada permukaan tanah merah yang menyelimuti jalan.

Lima meter.

20 meter.

Satu kilometer.

Aku mendengar kendaraan berlalu-lalang. Aku mendengar orang berbincang. Aku bahkan mendengar seorang berupaya untuk menyambutku.

Aku tidak menghiraukan mereka.

Bukan, aku menghindari mereka.

Wajah mereka terlalu terang. Wajah mereka..., membuat aku takut.

Kan Ku Coba LagiWhere stories live. Discover now