📷 chapter t h i r t y

Beginne am Anfang
                                    

Satu kata yang terlintas dalam benak Radya usai melihatnya adalah, "Caper." Ia nyaris mengembalikan ponsel Ojan dengan melemparnya lantaran rasa dongkol yang bergumul dalam diri. "Dia bisa milih buat skip pertanyaan itu, tapi dia lebih milih buat nge-share jawabannya ke banyak orang. Apa lagi kalo bukan buat caper?" Ada jeda sesaat. "Terus orang-orang bakal inget lagi kalo dia punya mantan berengsek, dan rasa simpati berhasil dia dapetin lagi. Gila, ya. Entah apa yang udah dia bilang sampe nama gue jadi jelek di mata mereka yang ada di pihaknya."

Dahi Ojan tampak berkerut. Ia betul-betul bingung. Sebagian perkataan Radya sama sekali tak berhubungan dengan jawaban Karen dalam video tersebut. "Bentar. Maksud lo gimana dah, Rad?"

Embusan napas kasar Radya loloskan. "Semalam, gue baru tau kalau ternyata gue dikenal sebagai mantannya yang nggak tau diri karena udah nyia-nyiain dia begitu aja."

"Hah ... lo serius?" Ojan tampak tak percaya.

"Mereka pikir gue mutusin dia tanpa alasan yang jelas. Tapi, udah jelas nggak bakal ada asap kalau nggak ada api, 'kan? Gue seratus persen yakin kalau apa yang dia bagi ke orang-orang nggak sesuai sama fakta yang ada. Bagi dia, image pasti di atas segalanya. Kejujuran jadi nomor sekian." Radya tertawa masam. "Rasanya pengen gue spill aja semuanya. Bodo amat kalau hidupnya bakal hancur. Tapi ... siapa yang bakal percaya?"

Banyak, Ojan menjawab dalam hati. Ojan tahu bahwa selama ini Radya beranggapan bahwa masa populernya sudah habis saat ia masih berada di semester awal, sehingga ia selalu menjalani kehidupan dengan santai layaknya mahasiswa biasa, tanpa sadar bahwa mata para gadis masih sulit untuk berpaling darinya. Radya memiliki massanya sendiri--walaupun jumlahnya tidak sebanding dengan yang dimiliki Karen. Balas dendam bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan baginya. Namun, Ojan pun tahu bahwa Radya masih memiliki hati nurani dan takkan mungkin berbuat sesuatu hanya untuk menjatuhkan orang lain.

"Lo nggak bakal bener-bener ngelakuin itu," tutur Ojan, berupa pernyataan, bukannya pertanyaan.

Radya mendengkus. "Oh, jelas. Sayang energi gue, sayang waktu berharga gue. Selama dia nggak ngusik hidup gue secara langsung, gue juga bakal diam," pungkas laki-laki itu, dan konversasi mereka terkait Karen pun terhenti total di sana.

Saat itu, Radya maupun Ojan baru menyadari bahwa satu per satu kursi lipat sudah terisi oleh hadirnya teman-teman sekelas. Beruntung mereka sama sekali tak tertarik dengan percakapan antara Radya dan Ojan.

Lima menit sebelum kelas pertama dimulai, sebuah notifikasi masuk ke ponsel Radya, membuatnya bergetar pendek-pendek di atas meja. Radya segera meraih benda pipih tersebut dengan sedikit harapan bahwa pengirimnya adalah seseorang yang penting. Tapi, ternyata bukan. Kendati demikian, laki-laki itu tetap mengeceknya. Usai dibaca hingga tuntas, bahu yang semula merosot kembali tegap. Wajahnya seketika tampak cerah.

"Dari Alsa?" terka Ojan yang tak sengaja memerhatikan gerak-gerik Radya.

Yang ditanya menggeleng pelan. "Gue baru dapat tawaran job, buat birthday party."

"Ck. Fokus kuliah emang cuma omong kosong."

"Yang ini lain cerita, Jan. Cuan tetap nomor satu."

-

"Alsanira, lo sengaja banget nyari penyakit," Kania berkomentar saat tak sengaja mendapati Alsa yang tengah rebahan di atas karpet berbulu di kosnya seraya memainkan ponsel, membuka Instagram dan melihat-lihat unggahan dari sebuah akun dengan nama pengguna karenina.gnwn. Yah, Kania paham betul mengapa Alsa melakukannya setelah kawannya itu menceritakan apa yang telah terjadi semalam. Namun, tidak seharusnya Alsa sampai menyakiti diri sendiri seperti itu hanya untuk memuaskan rasa penasaran.

Through the Lens [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt