01. Mencintai Orang Salah

Start bij het begin
                                    

["Hmm, andai waktu bisa di putar, aku ingin sekali menikmati hidup bersamamu. Kalau tahu aku seperti ini, aku akan menunggu kamu sampai lulus. Aku benar-benar menyesal menikahi dia."] tuturnya dalam telpon serbang sana membuat Denia terperangah, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Kak Kasa, apa maksudmu? Apakah kamu becanda? Apa yang terjadi dengan istri Kak Kasa sampai-sampai menyesal seperti itu? Apa kelebihanku yang membuat Kak Kasa tertarik? Aku hanya seorang gadis remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, yang pikirannya di penuhi oleh tugas."

["Kamu itu sangat istimewa, Dek. Terlalu lucu dan mungil, ah pokonya nggak bisa di jabarkan dengan kata-kata."]

"Hmmm." Hanya dehaman yang mampu Denia lontarkan, seolah kehabisan kata-kata untuk lelaki itu.

["Dek Denia, minggu depan Kak Kasa mau ke rumah Abang Candra. Boleh, ya, boleh nanti kita bicara empat mata nanti. Ingat, jangan bilang sama Bang Candra."]

Setelah usai berbicara di telpon, wajah Denia kembali cerah. Entah dari mana, lelaki yang dikenal sebagai teman kakaknya itu selalu berhasil membuat Denia ceria lagi.

Denia bangkit dari duduknya dan menuruni anak tangga. Hentakan demi hentakan suara kaki terdengar. Matanya memicing saat melihat Bang Candra tengah duduk di kursi meja makan bersama Emak dan Bapak di dapur. Denia tidak  bisa menyembunyikan wajah cerianya. Bibirnya tersenyum ke arah Bang Candra, yang  membuat Bang Candra lekat menatapnya aneh.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Bang Candra dengan wajah sinisnya.

"Bang." Emak menegur dengan suara lembut, tangannya menyerok nasi untuk Denia dan kemudian di sodorkan.

"Denia mau paha ayam, Mak." Denia bersuara, matanya menatap sang Emak bergilir dengan Bang Candra.

"Paha ayamnya cuma satu, itu punya Abang." Bang Candra merebut paha ayam yang tersisa di piring, yang memang tinggal satu. Tingkah keduanya bak Tom and Jerry, tak pernah akur sekalinya akur membuat Emak Bapak senang.

•••

Sesuai apa yang di katakan Kasa minggu lalu. Ia datang ke rumah sesuai janjinya dengan alasan ingin bertemu dengan Bang Candra, hanya sekedar nongkrong di depan rumah sambil menghirup rokok. Namun, dengan cara tersebut, Kasa mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Denia, dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengobrol dengan gadis kecil--Denia, tanpa sepengetahuan penghuni rumah.

Dengan ragu, Denia mempijaki lantai dingin teras untuk mengantarkan secangkir teh dan cemilan atas perintah dari Emak untuk Kasa.

Sejenak, Denia diam mematung memperhatikan Kasa yang tengah duduk seraya menghirup rokok di kursi sana seorang diri. Ada rasa malas untuk melanjutkan langkah, seolah tarikan dari belakang untuk tidak menghampiri lelaki itu. Namun, lelaki itu telah menyadari keberadaan Denia. Lantas dia berjalan ke arah Kasa.

"Eh, ada Denia cantik," ucapnya dengan suara pelan, bibirnya melengkung berbentuk hati di sunggingkan ke arah Denia.

"Kenapa seperti malu-malu gitu? Bukannya kita sering bertemu di sini, dan sering tegur sapa lewat telpon?"

"Eu, hmmm, Bang Candra kemana?" Denia mengalihkan pembicaraan.

"Katanya mandi dulu. Duduklah sebentar, Dek!"

"Ada apa? Aku tidak bisa berlama-lama di sini, Kak."

Denia menuruti perintahnya, ada debaran hebat rasa yang tak bisa di artikan. Si gadis benar-benar di buat kalang kabut kala berhadapan dengan Kasa--lelaki berusia jauh di atas usia Denia. Bahkan, selisihnya pun sangat jauh sekali.

Antologi CerpenWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu