1O

67 12 11
                                    

Bagian 10 ||
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
- s i n g g a h -

             “BISA gak, gak usah buat gue khawatir atau apa gitu?”

             Juyeon hanya meringis sakit sesaat alkohol menyentuh sudut bibirnya. Dia mendengarkan Jiyeon yang terus mengomel. Seperti biasa.

             “Punya otak tuh dipake. Bukan lo pajang doang di kepala!”

             “Ngajak orang berantem, udah tau gak bisa!”

             Juyeon mengerjap pelan. Gue sabuk cokelat coy. Juyeon membalasnya dalam hati. Tidak menginginkan Jiyeon semakin menambah omelannya seperti naik kereta api tut tut tut mengenai ini itu dan sebagainya.

             Kini Juyeon merasakan tangan kanannya dibawa ke atas paha Jiyeon. Selama Jiyeon mengobati lukanya, selama itu pula pandangannya tidak beralih ke mana-mana. Hanya memerhatikan wajah Jiyeon dan bagaimana gadis itu sangat berhati-hati mengobati lukanya.

             “Lo nangis?”

             “Ngga!” Jiyeon berteriak. Mengusap sudut matanya kasar. “Ini gue kelilipan.”

             Juyeon melipat bibirnya, berusaha menahan tawa. Ya kali Jiyeon kelilipan di kamar apartemennya yang hanya ada debu halus. Pandangan Juyeon terus mengamati Jiyeon yang sekarang menjauh menuju pantry mengambil minum.

             “Gue gak suka liat lo yang kenapa-kenapa, Juyeon.”

             “Iya, ngga lagi-lagi gue berantem. Ngga usah khawatir ya?”

             Praktis saja Jiyeon memperlihatkan raut sebalnya. Siapa yang khawatir, sih? Ngga adaaa!

             Lagi, sepengetahuan Jiyeon, Juyeon bukan laki-laki yang suka berkelahi dan luka di tangannya berhasil membuat Jiyeon mempertanyakan akan tindakan Juyeon yang berjalan cepat ke arah Hyunjung—yang baru Jiyeon ketahui keberadaannya sesaat Juyeon menghajar wajah dari laki-laki yang lebih tua setahun dari mereka.

             “Biluuu, liatt. Tangan aku diperban, sakit banget.”

             Lebay bebek guling!

             Dari tempatnya Jiyeon bisa melihat Juyeon yang mengadu pada anjing pudelnya. Menampilkan raut kesakitan seakan menjadi orang paling terluka. Dan lucunya adalah, seakan mengerti Bilu duduk mengamati Juyeon dengan ekspresi sedihnya, kemudian menjulurkan lidahnya bermaksud menjilat tangan terluka itu untuk memberikan ketenangan.

              “BILU ASTAGAA, JANGAN JILAT TANGAN JUYEON, ITU ADA ALKOHOLNYA!!” Cepat-cepat saja Jiyeon berlari menarik tubuh Bilu untuk menjauh dari Juyeon sesaat Bilu menjilat tangan besar itu.

             Begitu hebohnya Jiyeon meminta pada Bilu untuk mengeluarkan lidahnya, mengamati apakah ada perubahan warna pada lidah anjing miliknya yang baru berusia setahun itu. Astaga, Bilu benar-benar tidak akan aman bila bersama Juyeon.

             “Gapapa, gapapa. Kaget ya? Maaf yaa.”

             “Emangnya kenapa, sih? Bilu ngga akan mabok ini,” tanya Juyeon bangkit dari posisi jongkoknya. Mendekat pada Jiyeon yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan televisi seraya memeluk Bilu yang tampak nyaman dalam pelukan.

             “Diem!”

             Uh, oh, okay. Juyeon menutup mulutnya, duduk tenang di samping Jiyeon yang mulai menyalakan televisi dan menyandarkan kepala kecilnya pada bahu Juyeon. Sementara, si empu memilih memainkan ponsel; membalas pesan masuk dari Bunda serta teman-temannya yang mengajak pergi bermain. Setelahnya, membuka satu browser untuk mencari tahu mengenai kesalahannya barusan.

singgah, eunbo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang