Memang sejak awal menikah dengan Dika. Leni; ibunya Dika tidak begitu menyukainya berada dalam keluarga mereka hingga penolakan pun sempat Dina terima kala itu. Tapi, Dika berhasil membuktikan janjinya pada Dina dengan membujuk Leni agar mau menerima perempuan pilihannya dan itu adalah Dina Prayoga.

Saat itu, usia Dina bahkan masih sangat muda yaitu 25 tahun, sedangkan Dika sendiri berusia 27 tahun dan baru saja menyelesaikan studi S2-nya di Amerika.
 

'Ayo bercerai'

Itulah kalimat yang sangat membekas di hati Dina. Wanita berusia 27 tahun yang baru saja menjadi seorang ibu. Tidak menyangka dirinya harus menjadi seorang janda di usia yang masih cukup mudah untuk berpisah dengan suami.

Bersamaan dengan itu, Dina tiba-tiba saja mengeluhkan rasa pusing di kepala dan seketika matanya menjadi gelap bersamaan rasa sakit di kepalanya yang semakin tidak tertahankan.

Mungkin inilah akhir dari hidupnya. Alangkah baiknya jika tuhan memanggilnya saat ini juga agar rasa sakit ini ikut hilang bersama nyawa yang sudah terpisah dari raganya.

Bruk!

"Nyonya, Dina!" seru perawat bersandal hijau muda.

"Hey, Nyonya!" tambah dokter muda di sebelah dokter John.

"Nyonya, Dina Prayoga buka matamu! Apa yang kau rasakan, hmm? Katakan padaku," tanya dokter John seketika cemas dengan kondisi Dina yang tiba-tiba saja pingsan, padahal beberapa menit lalu perempuan itu masih baik-baik saja dan masih bisa diajak mengobrol.

"Nyonya, Dina! Bu Dina? Dina Prayoga? Apakah anda bisa mendengar suara saya?" Dokter John masih berusaha memulihkan kesadaran Dina dengan menepuk pipinya pelan.

Karena tidak ada respon dari Dina akhirnya dokter John meminta rekan timnya untuk membantu menangani Dina.
Dokter John sendiri bergegas  menekan tombol darurat untuk meminta bantuan pada beberapa perawat yang masih berkumpul di ruangan khusus para perawat agar mau membantunya menangani Dina. Salah seorang di antara mereka juga berlari ke luar ruangan.

Tidak butuh waktu lama, akhirnya dua perawat datang membawa beberapa tabung oksigen dan monitor pasien.

"Cepat bantu saya memasangkan nasal kanul. Segera monitoring, saturasi dan detak jantungnya," pinta dokter John pada salah satu perawat yang baru datang itu.

"Baik, Dok," respons perawat itu sangat patuh. Setelah dipasangkan selang oksigen dan memonitor keadaan Dina. Dokter John berharap Dina tidak akan tidur terlalu lama, karena kondisi vitalnya tidak terlalu berbahaya.

***

Setelah dua hari sempat mengalami koma, Dina akhirnya sudah siuman kemarin. Besok, bersama putrinya, sepertinya mereka sudah diperbolehkan pulang.

Tok ... tok ... tok!

"Permisi, Nyonya Dina."

"Ya?" Dina menengok kemudian tersenyum. "Kamu lagi!"

"Bagaimana kondisi nyonya pagi ini?" Seorang perawat masuk dengan membawa secangkir susu dan semangkuk bubur sebagai sarapan pagi Dina setelah sadar dari komanya.

"Alhamdulillah, aku sudah membaik, sus. Makasih karena sudah merawat kami dengan baik selama di sini" ungkap Dina penuh haru.

"Hehehe ... nyonya ini. Itu sudah menjadi tugas kami untuk merawat seluruh pasien. Ya, meskipun membawakan makanan seperti ini adalah murni keinginan saya sendiri karena ingin bertemu si bayi yang imut," ungkap perawat gemas dengan putrinya Dina. "Jadi, tidak perlu sungkan pada saya jika memang membutuhkan sesuatu," tambah perawat cantik yang sepertinya lebih muda dari Dina.

Dian putri. Itulah name tag yang tertulis di dada perawat tersebut sebagai tanda pengenalnya dan Dina bisa dengan jelas melihatnya karena jarak mereka saat ini begitu dekat. Hanya beberapa meter dari posisi Dina duduk.

Setelah selesai melakukan tugasnya, Dian pun berpamitan  karena harus melakukan beberapa hal.

"Baiklah, semuanya sudah kembali normal," kata Dian sambil tersenyum ke arah monitor pasien. "Alat-alat sudah dicabut ya ini. Untuk lepas infus tunggu kunjungan dokter ya." Lanjutnya tidak lupa menatap ke arah Dina sejenak, sembari mengatur peralatan agar lebih mudah dibawa pergi dari ruangan Dina.

"Alhamdulillah," balas Dina tidak kalah manis saat membalas senyuman Dian.

"Eh, iya. Apakah besok aku dan baby sudah bisa keluar, Dian?"

Obrolan yang awalnya formal, mendadak informal. Ya, ini karena Dina dan Dian seperti sudah menemukan kecocokan satu sama lain sehingga membuat keduanya akrab.

"Iya, Kak. Sepertinya kakak dan ponakanku ini sudah bisa segera pulang ke rumah," jawab Dian. "Iya kan, sayang?" Dian bertanya pada bayi perempuan yang berada di dalam box, bayi itu sudah membuka matanya sejak beberapa menit lalu dan menyaksikan keakraban Dina dan Dian seperti seorang kakak beradik.

"Masya Allah, Kakak. Putrimu ini lucu sekali." Dian mendadak lemas saat mendapat respon senyuman kecil dari bayi itu. Dian merasa gemas dan ingin sekali rasanya mencubit pipi si bayi imut.

"Nanti, setelah kau menikah, kau akan bisa memilikinya, hmmm. Jadi, carilah pasangan dulu baru bisa menikah dan memiliki seorang baby," kata Dina terdengar seperti ejekan untuk Dian.

"Astaga, tentu saja hahaha," balasnya lagi yang berakhir dengan tawa mereka memenuhi ruang rawat inap Dina.

"Kakak, aku pergi dulu ya. Nanti sejam lagi aku balik ke sini lagi untuk membawakan makanan siang dan sekalian menjenguk ponakanku yang cantik ini."  Setelah mengatakan itu Dian tetap meneruskan niatnya untuk memberikan cubitan kecil di pipi bayi itu, lalu buru-buru berlari dari sana, karena takut mendapat umpatan dari Dina.

"Ya ampun, anak itu benar-benar."  Dina tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong putrinya dari kejahilan Dian.

Dina hanya bisa melihat kepergian Dian itu dengan tersenyum lebar karena biar bagaimana pun dia merasa sedikit terhibur oleh kedatangan Dian yang selalu mendatangi dirinya dan sang bayi selama dirawat. Mungkin Dian kasihan karena melihat perempuan lemah seperti Dina tanpa wali dan pendamping di rumah sakit sebesar ini.


See you next chapter again guys 

I Love You' versi Indonesia Where stories live. Discover now