2. Beauty Privilege

Magsimula sa umpisa
                                    

Buat para cowok yang merasa bangga karena memacari lebih dari satu cewek. Bukan kalian keren bisa memainkan cewek, karena bisa jadi sebenarnya kalian itu tengah dimainkan. Ditipu untuk dikambing hitamkan.

"Bia pulang ...."

Bia memasuki rumahnya dengan langkah riang. Slingbag-nya bahkan bergerak ke sana-ke mari karena ia ayun-ayunkan.

"Mama di dapur, Bi," teriak seseorang dari arah dapur.

Bia pun seketika berbelok lalu menemukan seorang wanita yang tengah menyimpan makanan di atas meja dengan posisi memunggunginya. Bia tersenyum, ia berlari lalu memeluknya. Wanita itu sedikit terkaget, tapi sesaat kemudian dia tertawa.

"Kebiasaan banget sih, Bi," ucap wanita bernama Jeyana itu.

Jeya mengurai tangan putrinya, ia berbalik lalu memberikan kecupan pada kedua pipi juga dahi Bia.

"Mama nyiapin makan buat Bia ya?"

"Iya."

"Padahal Bia 'kan udah bilang nggak papa, Bia bisa ambil dan panasin sendiri."

Jeya mengusap pipi putrinya. "Udah duduk."

Bia pun menurut lalu mulai menyendok makanannya. Meskipun dia pergi keluar, dirinya belum sempat makan malam tadi.

"Mau Mama suapin?" tanya Jeya yang mengamati putrinya dengan tangan yang bertopang di dagu.

"Nggak Ma, Bia udah gede tau."

"Nggak ada larangan ini."

Dengan mulut yang terisi penuh Bia menggeleng. Bia pernah mendengar cerita dari papanya bahwa dulu mamanya mengandung adiknya saat Bia masih berusia 6 bulan. Jeya otomatis tidak bisa memberikan asi lagi. Alhasil Jeya berusaha memberikan Bia kasih sayang dengan cara lain. Keterusan sampai sekarang, kadang Jeya memperlakukannya seperti anak kecil, padahal Nean yang notabenenya adiknya sudah dilepas mandiri.
Tidak heran jika orang-orang sering salah kira bahwa Bia adalah bungsunya.

"Anak Mama ini kok cantik banget sih," ucap Jeya yang tidak tahan dengan rasa gemasnya, ia mencubit pipi Bia.

"Mama ...," Bia setengah merengek protes sementara Jeya hanya tertawa kecil yang membuat aura cantiknya keluar meski dirinya sudah cukup berumur.

Wajah Bia memang lebih dominan ikut papanya, tapi semua orang mengakui jika mata Bia benar-benar duplikat mata Jeya. Sesuatu yang sangat Bia syukuri. Karena kalau matanya juga ikut sang Papa, Bia pasti mewujudkan citra pelakor-pelakor yang ada di sinetron. Cantik yang kejam.

"Pasti banyak nih cowok yang naksir sama Bia, tapi kok Mama nggak pernah denger Bia deket sama cowok ya?" Kening Jeya sedikit berkerut-kerut.

"Bia nggak mau pacaran dulu, Bia mau cari uang biar bisa sukses mandiri kayak Mama."

Jeya mengusap kepala putrinya penuh sayang.
"Pinter banget. Mama siap dukung Bia. Kalo perlu modal bilang ya. Kita juga bisa diskusi bareng, tapi rencananya Bia mau usaha apa?"

Bia menghentikan kunyahannya. Ia menoleh pada Jeya yang menatapnya penuh antusias menantikan jawaban Bia.

"Eu ... masih aku pikirin," jawab Bia yang diikuti kekehan sumbang. Dirinya tidak mungkin menceritakan tentang bisnis yang saat ini dirinya jalankan.

oOo

Setelah selesai makan dan mendapatkan nasihat tentang sikat gigi, cuci tangan, dan cuci kaki dari mamanya, Bia pun akhirnya bisa mencapai kasur. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam slingbag. Bia mematikan suaranya hingga tidak tahu bahwa ponselnya menyala karena adanya panggilan masuk.

Foto Arga mengisi layarnya, menunjukkan telpon yang entah untuk kali ke berapa.

Arga punya wajah yang rupawan. Saat riset tentang dia, Arga memang terkenal karena ketampanannya itu. Sayangnya tampan pun ternyata tidak cukup untuk membuat seorang Ziva tetap tinggal.

Bia memeluk gulingnya lalu menumpukan wajah di sana. Bia jadi kepikiran. Fisiknya bisa diterima siapa pun, tapi sifat-sifat yang ada pada dirinya ... apakah bisa diterima juga? Bia jadi semakin tidak ingin pacaran, takut berakhir seperti Arga. Kasihan.

"Udah-udah Bia, tidur, sekarang udah malem," ucap Bia seraya mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.

oOo

Bia mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang diputar radio mobil papanya. Sesekali tangannya pun menepuk-nepuk paha mengiringi tempo.

Biasanya Bia pergi dengan Nean, adik laki-laki yang duduk di bangku kelas sebelas. Namun, hari ini adiknya itu tidak enak badan hingga Bia pun berangkat dengan papanya.

"Bi, kalo Papa berhentiin di pertigaan nggak papa 'kan?"

Bia menoleh. "Papa lagi buru-buru ya?"

"Lumayan, tapi kalo sampe sekolah harus agak jauh dulu karena nggak mungkin putar arah di sana," jelas Ganesh. Pria dengan kacamata bertengger itu tersenyum lembut.

"Yaudah nggak papa Bia turun aja di sana. Udah deket ini kok."

"Beneran?"

"Papa kayak nggak percaya banget sama Bia." Bia mengerucutkan bibirnya yang membuat Ganesh terkekeh kemudian mengusap puncak kepalanya.

Tak lama kemudian Ganesh pun menghentikan mobilnya. Bia pun mencium tangan papanya sebelum turun. Dia melambaikan tangan hingga mobil papanya itu melaju kembali.

Memasang senyum penuh semangat, Bia pun melangkahkan kaki  ke arah sekolah. Baru saja berjalan sedikit seorang cowok sudah menyapanya. Bia tidak tahu siapa, Bia pun hanya membalas dengan senyuman kecil.

Bia lumayan terkenal, setidaknya ketika dia masih mempunyai akun media sosial anak-anak dari sekolah lain pun menjadi pengikutnya. Selain karena kakaknya yang  posesif itu tidak suka Bia mengumbar kehidupan di sosial media--karena katanya bisa menjadi sumber bahaya bagi Bia sendiri, bisnis Bia semakin maju, dirinya tentu tidak boleh terlalu mengumbar diri agar tidak menyusahkan kerjanya.

"Eh maaf!" pekik Bia ketika tanpa sengaja bahunya menabrak lengan seseorang. Sepertinya Bia akhir-akhir ini kurang fokus. Malam kemarin dirinya juga menabrak orang.

Bia menatap orang itu lalu menyunggingkan senyuman manis. Orang itu hanya diam, tanpa membalasnya. Dia memakai celana jeans dengan kemeja hitam. Di tangannya ada beberapa kertas yang dijilid. Bia tebak dia adalah anak kuliahan yang menuju semester akhir. Karena penampilan Kean--kakaknya, pun tidak jauh seperti ini.

"Maaf ya, Kak."

Pria itu sedikit tersentak yang membuat kening Bia berkerut. Barusan Bia berbicara dengan nada lembut kok, bukan membentak yang bisa membuat orang lain kaget.

"Oh, iya, sorry juga," ucap cowok itu pada akhirnya.

Bia mengangguk sebelum memutuskan untuk menjadi yang pergi lebih dulu. Ia kembali menyusuri jalan menuju sekolahnya.

"Tunggu, orang tadi kayaknya nggak asing deh. Pernah ketemu kali ya?"

Bia mengetuk-ngetuk dagunya. Banyak orderan ke STME membuat Bia banyak bertemu orang baru terkhusus cowok. Saking seringnya, Bia jadi tidak bisa mengingat lama.

oOo

27 April 2023

Putus berbayarTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon