08

64 15 9
                                    

Cinta pertamanya mungkin akan selalu punya tempat tersendiri di hati Badai.

Tapi, teruntuk Sakti—sahabatnya sejak lima tahun lalu—cowok itu juga nggak kalah penting dari cinta pertamanya yang sudah kandas.

Jika Badai ingat-ingat, Sakti selalu ada di setiap patah hati yang Badai alami.

Sakti selalu jadi tameng di saat dunianya huru-hara.

Selalu jadi penyembuh dari tiap-tiap luka yang ia terima; dari cinta pertamanya atau bahkan dari masalah tak berujung yang disebabkan keluarganya.

Sakti selalu ada; berdiri di belakangnya.

Bohong kalau Badai nggak ngerasa ada yang beda sama tatapan cowok itu. Perhatian-perhatian kecil yang Sakti berikan. Rona merah di wajahnya saat berada di dekat Badai.

Badai nggak berpikir sejauh itu sampai dia nggak sengaja dengar percakapan Sakti dan Emi pagi itu.

"Kenapa nggak jujur aja soal perasaan lu ke dia?"

Sakti senyum pahit. "Terus, dia bakal jauhin homo ini."

Badai mundur selangkah, urungin niat buat dorong pintu di depannya. Berusaha buat pasang telinganya baik-baik.

"Ungkapin, Sak." Emi lanjut. "Seenggaknya Badai tau perasaan lo."

"Aku ragu, Mi." Sakti mulai. Matanya nggak beralih dari jendela. "Aku nggak bisa ngartiin perlakuan Badai. Kata sayangnya dia, tatapannya. Semuanya." Sakti katupin bibirnya sebentar. "Aku nggak yakin dia juga rasain hal yang sama. Secarakan mantannya cewe semua." Sakti decak. "Apa lagi ini. Mbak Shinta ini."

Badai perhatiin wajah Sakti dari cela pintu di depannya. Mimik wajah Sakti serius sekali. Jantung Badai berdetak laju. Sakti nggak mungkin berbohong dengan nada bicara semeyakinkan itu.

Dia lalu memilih buat balik badannya. Menjauh dari sana.

Badai kabur.

Takut jika mendengar lebih banyak maka akan mempengaruhi pandangannya pada Sakti. Akan mempengaruhi persahabatan mereka.

Tapi akhir-akhir ini Badai mulai ragu.

Hatinya goyah.

Pikirannya gundah saat mengingat dengung tawa Sakti,  kerlingan mata jelaga milik sahabatnya, atau rajuknya yang menggemaskan.

Sakti ini luar biasa manis. Manis yang bikin Badai nggak tahan buat nggak kasih kecupan singkat di pipi cowok itu.

Ngebuat Badai nggak bisa nahan gemes dan berujung meluk Sakti erat.

Antara cinta pertama dan persahabatan, Badai enggan memikirkan mana yang lebih berarti baginya. 

Tapi malam ini, batas-batas antara dirinya dan Sakti melebur.

Kacau sekali.

Dahi mereka kembali bersentuhan.

Mata bertemu mata.

Deru napas bersahutan.

Badai melingkarkan tangannya di pinggang Sakti, sedangkan cowok itu masih duduk di pangkuaannya.

Jemari Sakti enggan meninggalkan rambut Badai; meremas erat rambut sahabatnya; menyalurkan hasrat yang terhenti.

Bibirnya basah ulah Badai. Pipinya panas. Sakti sesak. Badai juga merasakan hal yang sama.

Detak jantung mereka berpacu. Badai kembali bersemangat sedang Sakti jatuh lemas ke dalam pelukannya.

Menghirup aroma jeruk di leher Badai.

“Badai—” suara Sakti lemah. Teredam di leher Badai. “Kita ini apa?” Sekali lagi. Sakti mencoba mencari kepastian.

Sakti masih mengingat jawaban Badai kala itu;

Kita ini manusia cerdas, Sakti. Homo Sapiens.

“Kita ... teman, Sakti.” Suara Badai serak. Badannya masih panas. Nafsunya diujung kepala.

Jantung Sakti berdetak menyakitkan. Tapi buat lepasin pelukan Badai, Sakti udah nggak punya cukup tenaga.

Sakti makin eratin pelukan mereka.

Dia remet baju belakang Badai sampai bikin bagian itu lecek. Melampiaskan hatinya yang serasa dicubit.

Sakti tersendat. Menangis kecil.

Badai masih diam. Benar-benar kalut sampai nggak tau harus ngapain.

Egonya berkuasa, hatinya dia abaikan.

“Ciuman di tengah malam antara dua teman itu nggak ada Badai.”

“....”









•••

20-04-2023



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 20, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

opia [bxb]Where stories live. Discover now