04

303 77 36
                                    

“Kamu siapa?”

“Lah iya, saya siapa?”

“Kalau kamu nanya ke saya, saya harus nanya ke siapa?”

Badai ketawa. Dia lalu maju ke depan. Ambil tangan papa Radit—ayahnya Sakti—terus dia tempelin ke dahinya. “Saya tukang perabot keliling, Om. Mau nganterin pesanan pancinya tante Ratih.”

Papa Radit terkekeh. Tukang perabot mana yang kerja pake pakaian semodis ini?

Papa Radit teriak, “MA KAMU PESAN PANCI YA?”

Ada sahutan dari dalam. “ENGGAK TUH! SALAH ALAMAT KALI!”

“YA NGGAK USAH TERIAK-TERIAK JUGA! TELINGA PAPA, KAN NGGAK CONGEAN!”

Papa Radit sekali lagi menoleh ke Badai. Dahinya mengernyit. Pasang wajah galaknya. “Bohong ya kamu?”

Badai nyengir. “Saya Badai, Om. Temennya Sakti. Ya kali Om lupa.”

“Salah sendiri nggak pernah ke sini lagi. Udah lama saya nggak liat kamu. Kemana aja?”

“Nugas.”

“Ngawur, tampang kamu nggak meyakinkan kalau kamu serajin itu ... tugas apa emang?”

“Om udah tua, kepoan lagi.”

“Durhaka kamu!”

Badai sama Papa Radit ketawa bareng. Tau, kan gimana kalau bapak-bapak ketawa?

Lalu detik selanjutnya hening. Badai garuk belakang kepalanya canggung.

“Saya nggak ditawarin masuk, Om?”

“Tukang perabot keliling dilarang masuk.”

.
.
.

“Badai makan malam di sini?”

Sakti gumam pelan. Nggak denger mamanya ngomong apa barusan. Dia lagi perhatiin mamanya yang lagi masak makanan buat nanti malam.

“Mama tanya, nanti Badai makan malem di sini juga?”

“Kayaknya iya.”

Badai tadi ngasih kabar, mau main ke rumah Sakti katanya. Udah lama sejak terakhir kali cowok itu datang. Masa-masa patah hati yang Badai alami beberapa minggu lalu ngebuat dia cuma ngurung diri di rumah. Ke luar cuma untuk ke sekolah.

“Kak tolong ambilin gula!”

Sakti bangkit dari duduknya. Ambil toples kaca kecil di antara toples-toples bumbu lain di atas rak. Lalu dia kasihin ke mamanya.

“Kok tulisannya garam?” pertanyaan Sakti merujuk pada kertas kecil yang dilem pake lakban transparan.

“Kerjaan papamu. Katanya biar nggak diicip semut.”

Sakti ketawa. “Papa aneh ya, Ma?”

“Gitu-gitu juga bapakmu.”

“Gitu-gitu juga suamimu, Ma!”

“Iya juga ya.”

Sakti balik duduk dikursinya. Kembali ngeliatin punggung kecil mama Ratih yang sibuk sama kompor di depannya.

“Mama masak apa buat nanti?”

“Tumis kangkung, sop ayam, sama telur dadar.”

Sakti ingat sesuatu. “Badai elergi telur, Ma. Dia juga nggak bisa makan ayam. Kangkung lagi, nggak doyan dia.”

Mama Ratih noleh. “Serius? Mama nggak tau. Jadi gimana?”

Sakti diam. Mikir. “Nanti dia aku ajak makan di luar aja,” ujarnya.

“Kak?” mama Ratih manggil. Masih fokus sama masakannya.

“Hm?”

“Kamu tau banyak ya soal, Badai?”

“Nggak juga.” Sakti jawab cepat.

Mama ratih balik badannya. Menghadap Sakti.

“Kamu masih suka perempuan, kan, Kak?”

Sakti diam. Kaget. Dia tatap mamanya horor.

.
.
.

Badai sama papa Radit lagi duduk lesehan di ruang tv. Nontonin acara berita yang dibawa oleh seorang wanita muda. Badai sebenarnya nggak hobi nonton acara beginian. Kalau Badai ingat-ingat dia jarang banget pantengin TV di rumahnya.

“Om?”

“Hm?”

“Nanti malam saya izin culik Sakti sebentar. Boleh?”

“Nggak boleh.” Papa Radit jawab cepat.

“Kok gitu?”

Papa Radit tertawa. “Ada sogokannya nggak? Susah bujuk mamanya Sakti.” masih liatin acara berita di depannya.

Badai alihin pandangannya ke TV. “Selain kepoan om juga matre ya?”

“Nggak sopan!” Dia alihin pandangannya ke Badai bentar. Anak muda di sampingnya hanya terkekeh.

“Pokoknya nanti malam aku mau culik Sakti.”

“Emang mau kamu ajak ke mana, sih, dia? Orangnya kaku gitu, kok. Antisosial dia. Nggak suka tempat yang rame-rame.”

“Mau kuajak kawin lari.”

“Cocotmu!”

Badai cuma ketawa. Nggak lama dia liat Sakti jalan cepat ke arah Badai. Mukanya pucat.

“Dai. Aku mau jalan-jalan!”

“Ke mana?”

Mata Sakti merah. “Ke mana aja! Cepetan!”

Badai paham. Dia ambil kunci motornya yang dia letakin di atas meja. Pamit pergi sama papa Radit, berjanji akan bawa Sakti pulang sebelum jam dua belas malam.

“Kenapa? Hm?” Pipi Sakti diusap. Badai pilih berhentiin motornya di taman nggak jauh dari rumah Sakti.

Sakti geleng. Nggak mau cerita. Saat ini Sakti benar-benar takut untuk kembali ke rumah. Takut bila harus kembali berhadapan dengan mama Ratih.

Hati Sakti kalut luar biasa. Benar-benar nggak percaya kalau apa yang dia sembunyiin selama ini sudah bisa terbaca dengan sangat muda oleh sang mama.

Meskipun tadi Sakti berhasil berkilah. Tetap, hatinya nggak nyaman.

Dagu Sakti dicubit. Jarak antara wajahnya dan wajah Badai dekat sekali. Hidung Sakti diserang aroma jeruk dari parfum Badai.

Sakti mejam saat kedua matanya dikecup lembut. Waktu dia buka matanya lagi, dia bisa lihat Badai yang lagi senyum. Tampan sekali.

“Jangan nangis. Mata lo merah. Gue nggak suka.”

“Aku nggak nangis!” bohongnya. “Ini merah karena debu! Kamu bawa motornya kencang banget. Mau mati bareng?” ketara sekali bohongnya.

Badai lagi-lagi cuma bisa nahan senyum. Akhir-akhir ini Badai jadi menyadari, sahabatnya ini luar biasa menarik. Ada sesuatu yang bikin Badai selalu terpikat menatap mata hitam Sakti.

“Jadi mau jalan-jalan ke mana?”

Badai lalu menautkan jari-jarinya ke sela jari-jari Sakti.

“Atau mau makan dulu? Mau makan apa? Bakso? Gue traktir.”

Rasa hangat dari sentuhan kulit ke kulit itu menjalar lambat.  Menyelinap ke hati Sakti.

Perasaan Sakti campur aduk saat ini. Dia usap matanya perlahan. Hatinya luar biasa bahagia, perlakuan Badai ke dirinya beberapa hari terakhir ini selalu sukses ngebuat Sakti seolah sedang berjalan di atas awan. Ngebuat banyak kupu-kupu menggelitik perutnya.

“Mau makan kamu!”

“Ha?”

•••

opia [bxb]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα