Sepucuk Surat Untukmu [2]

79 37 99
                                    

•°•°••°°•°•°•°•°•°
"Karena nyawa itu nyata, bukan hal yang sia-sia jika masih membalasnya. Apalagi tentang kematian yang sudah pasti ada," ucapnya masih menatap kertas yang dia pegang. Senyuman sendu tetapi dia tidak tampakkan kepada orang yang tengah mengganggunya. Entah ada angin apa orang itu masih berada di sana.

"Dia sudah tidak ada di sini, bisakah kamu tidak mengganggunya?"

"Bagaimana denganmu yang juga mengganggu diriku?" Gadis itu balik bertanya kepada orang itu. Seorang laki-laki dengan topi bersandar di kepala.

Helaan napas terdengar, dia menginjak asap rokok yang dia isap tadi. Dengan gusar dia berucap lagi. "Surat yang kamu kirim, apa kau tidak bosan menulis itu? Pesanmu hanya dianggap bentuk formalitas. Kau hanya memedulikan dirinya yang tak akan bisa kembali, bagaimana denganmu sendiri?"

Gadis itu tidak menjawab, dia memilih melipat surat dan memasukkan kembali ke dalam amplop coklat.

"Lagi dan lagi dirimu masih memikirkannya," gumam pria itu sambil menatap sang gadis. Gadis itu bergeming mendengar suara seraknya.

"Pesan mu sudah aku baca, maaf. Maaf karena telah lancang, tapi isi yang dia sampaikan sangat menyiksaku." Gadis itu menoleh kepada pria itu.

Zaidan, nama pria yang selalu menjaganya. Tak tau kenapa setiap kali permasalahan yang tak kunjung usai dia selalu ingin berada di sampingnya.

"Kenapa malah kamu yang tersakiti? Urusan pribadiku tak harus kau ikuti. Jika kamu ingin sekali masuk ke dalam hidupku, maaf saja aku juga tidak ingin berada di sini." Gadis itu ingin hengkang dari tempatnya. Dia merasa semua yang dia lakukan untuk memperbaiki semuanya tidak akan pernah berakhir.
Tetapi Zaidan tidak membiarkan dirinya pergi.

"Manis, setiap kali melihat dirimu seperti ini jujur saja hatiku sesak, perih dan tak tau bagaimana caranya agar dirimu bisa melihat orang yang selalu menemanimu." Ucapannya memang begitu tulus, tapi hati tak bisa dipaksa. Gadis itu tetap ingin pergi dari tempat itu.

"Boleh saja mengirim surat sebanyak apa pun yang kamu mau, tapi lihat dulu siapa orang yang ingin kamu kirimkan pesan," saran Zaidan sambil mengeluarkan korek untuk sebat.

Gadis itu membalikan badannya mendekat ke arah Zaidan. Dengan cepat Zaidan mematikan asap rokoknya sekaligus membuangnya lagi.
"Terbalasnya surat itu, aku semakin ingin tau kenapa dia pergi Zaidan. Alasannya apa dan kenapa dia memilih menghindar, hanya itu saja." Jawaban dari gadis itu membuat Zaidan menggeleng lalu mengacak rambutnya sendiri.

"Kamu masih menginginkannya. Bukan karena ingin tau kenapa dia pergi."

Gadis itu tak menjawab, Zaidan yang mulai frustasi mengambil sebuah kertas di dalam tas nya. Bukan marah, tapi kesal. Entah apa yang membuat gadis itu tak ingin berpaling.

"Tulis sesukamu Ca, kirim lagi jika perlu. Pena mu tidak akan habis jika dia ingin kembali. Karena yang benar-benar peduli tidak mungkin membuatmu sampai menunggu lama." Gadis bernama Oca itu tersentak, karena Zaidan memanggil dengan sebutan nama.

Oca melirik kertas yang diberikan Zaidan tanpa mengambilnya. "Ambil, Ca."

"Tidak perlu, aku punya."

"Seharusnya aku juga ikut sadar. Kamu tidak mungkin menerima setiap apa yang aku berikan." Zaidan berujar dengan senyum miring lalu meninggalkan Oca sendirian dengan kertas masih melekat di dekatnya.

Punggung Zaidan semakin menjauh, dan Oca juga ikut berpaling dari tempat itu.
Zaidan sesekali menoleh ke belakang menatap samar gadis itu, mungkin benar setiap apa yang diperjuangkan tidak mudah didapatkan begitu saja.

"Gue sayang lu, Ca."

°• Sepucuk Surat Untukmu•°✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang