Hancur belum Runtuh

Start from the beginning
                                    

"To, lo mau sampe kapan sehancur ini sendirian? Lo punya gue, kenapa lo mau sok kuat kalo kenyataan nya lo gak bisa, kenapa Dito?"

Dan pada akhirnya lutut kaki nya yang gemetar bukan main tidak lagi mampu menumpu, membuat nya luruh di depan Dito yang masih menangis dalam diam.

Tangan nya merengkuh tubuh yang biasa nya tegap itu dengan kedua tangan nya yang gemetaran. Tubuh yang selalu berjalan tanpa goyah di samping nya, sekarang rapuh di depan nya.

"Gue bukan pembunuh, Ga."

Satu.

"Gue nggak bunuh siapa-siapa."

Dua.

"Gue cuma anak yang mau hidup dengan tenang."

Tiga.

"Gue bahkan nggak punya harapan lagi, Ga. Kenapa mereka semua mau repot-repot hancurin gue padahal gue udah ngehancurin diri gue sendiri."

Empat.

Hening.

Angin malam itu menerbangkan daun-daun yang ada di samping, menciptakan suara-suara yang memenangkan. Seolah-olah mengatakan gapapa semua nya akan baik-baik saja.

Dito itu rumit. Semua orang tau, bahkan Sekala tau serumit apa seorang Ardito. Semua pemikiran dan kata hati nya hanya Dito yang tau, sekeras apapun Sekala dan Raga mencoba untuk memahami hasil nya gagal.

Tidak ada yang bisa memahami hancur dalam hidup Dito. Mereka hanya bisa merasakan, maka dengan sekali lihat, mereka tau bahwa Dito sudah hancur.

"Ayo pulang. Om Sekala pasti kebingungan nyariin lo."

"Papa."

Napas nya berangsur-angsur kembali normal, nada suara nya sudah mulai tenang, meski gemetar di tubuh nya belum hilang. Raga mencoba untuk tetap diam, mendengarkan seperti apa yang biasanya ia lakukan.

"Apa menurut lo Papa bakal marah liat keadaan gue yang jauh dari kata baik-baik aja ini?"

Raga belum berani menjawab setidaknya pertanyaan itu di biarkan tanpa jawaban selama dua menit. Membuat mereka sama-sama merasakan bagaimana angin mulai menelisik, menciptakan rasa dingin namun nyaman.

"He not."

Dua kata itu berhasil membuat Dito mengangkat wajah nya, melihat Raga yang ternyata sama kacau nya.

"Ayo pulang, To."

Laki-laki itu berdiri setelah sekian lama mengadu pada bumi yang malah tidak berempati sekali lagi, tetapi, memang Dito tidak butuh empati nya. Dito sudah sadar diri untuk tidak mengharap empati dari siapapun.

Langkah jenjang kedua nya yang sejajar menciptakan bunyi yang selaras, membuat bayangan yang tercipta sebab lampu jalanan terlihat bersisihan. Belum ada yang membuka suara sejak mereka keluar dari gedung terbengkalai yang sejujurnya cukup menyeramkan untuk Raga.

Baiklah itu sangat menyeramkan.

Mereka hanya diam tidak tau menikmati apa karena malam ini benar-benar tidak ada yang bisa di nikmati, selain keadaan langit malam yang kontras dengan hati Dito.

Hi, Bye Papa! Where stories live. Discover now