"Nggak ah, aneh rasanya."

"Kak, kunyah!"

Sepertinya seorang Anindita punya kemampuan yang selalu bisa membuat Caraka menerima lapang dada. Cowok itu membuka mulut, sementara Anindita memasukkan itu ke bibirnya. Caraka menikmati tablet mag dengan ekspresi aneh. Dia tidak pernah makan obat mag sebelumnya. Biasanya kalau magnya kumat, dia akan membiarkan begitu saja, menunggu sembuh sendirinya.

"Meskipun mag juga jangan disepelein tahu, Kak, tetanggaku meninggal karena asam lambung ... asamnya udah naik ke jantung."

"Nin, jangan nakut-nakutin, ih."

"Makanya, nurut. Kalo aku bilang pagi jangan minum kopi ya jangan! Nanti aku bilangin ke Teh Yati biar nggak bikinin kamu kopi lagi kalau pagi-pagi. Terus kamu udah sarapan?"

Caraka menjawab sambil tersenyum geli. "Belum."

"Tuh gimana asam lambungnya nggak naik? Iya udah kamu makan, aku suapin." Anindita membuka kotak bekalnya, untung hari itu dia memang membawa bekal lebih banyak. "Buka mulutnya." Anindita menyuapi Caraka sementara cowok itu masih setia melajukan kendaraan, menyeimbangkan antara kopling dan gas. Sesekali pandangannya beralih dari jalan raya, ke Anindita, lalu ke jalan raya, dan ke Anindita lagi.

Bersama Anindita, Caraka merasa diperhatikan. Dia seperti terlempar ke masa dia masih kanak-kanak dan ada ibunya yang selalu berada di sisinya, ketika Caraka sakit, dia akan mengadu ke ibunya, lalu ibunya setia mengobati sampai tidak tertidur karena menungguinya demam semalaman. Hingga akhirnya ibunya meninggal dunia, tepat ketika dia masih bocah SD berusia 7 tahun. Dia dipaksa kuat sebelum waktunya, dia harus menjadi dewasa karena ada Ratih yang harus dia jaga. Bertahun-tahun Caraka besar dengan menyampingkan perasaannya sendiri.

Berpura kuat padahal dia sedang lemah. Berpura sehat padahal dia sedang sakit. Berpura-pura bisa padahal tidak bisa. Berpura-pura mengerti padahal sebenarnya belum paham. Dia tumbuh dengan menelan semua perasaannya sendiri. Satu-satunya yang membuatnya bertahan adalah kesibukan. Itu sebabnya dia selalu menyibukkan diri, mengambil banyak hal dalam satu waktu, karena memang begitulah caranya tidak berjibaku tenggelam dalam rasa sakit yang sudah terlalu dalam.

Kini memori perasaan itu kembali menyembul, ternyata begini rasanya memiliki seseorang yang bisa memerhatikan dirinya. Selama ini dia hidup memerhatikan orang lain, tapi lupa melihat dirinya sendiri.

"Kaak, haloo?"

Anindita melambaikan tangan dan Caraka menoleh. Terlambat. Gadis itu menemukan matanya berkaca-kaca. "Kamu ngasih apa, sih? Ini pedas banget, sumpah! Minum dong, minum!"

"Eee—iya, iya!" Anindita membuka botol minumnya dan Caraka langsung menyedotnya sampai setengah. "Kamu nggak suka pedas, ya? Bilang, dong. Aduh ... masih pedas, nggak?"

"Udah hilang, liatin kamu aja. Soalnya kamu manis. Madu aja kalah."

"Mulai deh kumat."

"Serius lho aku ini."

"Ternyata ya, sikap dinginnya tuh cuma kedok. Aslinya mah gini, mulutnya beracun. Aku jadi korban di sini."

"Ya kan gini ke pacarku doang, Nin, yang lain nggak." Tangan Caraka naik mengusap lembut kepala Anindita. "Gombalanku tuh mahal, nggak mudah diumbar-umbar."

"Huek najis." Caraka kian terbahak melihat ekspresi Anindita lalu mencubit pipi gadis itu.

"Kalau aku tahu enaknya punya pacar kayak gini, harusnya aku pacaran aja ya."

"Maksudnya apa tuh?"

"Punya pacar yang pipinya bisa aku cubitin kayak gini, kan nggak mungkin aku tiba-tiba cubit pipi orang nggak dikenal? Yang ada aku masuk penjara, Nin." Caraka mencubit pipi Anindita karena gemas sampai cewek itu meringis kesakitan dan Caraka meminta maaf karena kelepasan. "Habis gemas banget, sih. Makanya jangan gemes-gemes dong."

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now