Chapter 15

2.7K 858 1.2K
                                    

Jangan lupa klik votes di atas, ya! Selamat membaca

Sepanjang perjalanan dari minimarket menuju ke studio Aspire, Anindita setia menggerakkan mulutnya untuk misuh-misuh. Kalau ada yang bisa menghitung kadar kejengkelan. Mungkin dia sudah di ambang 95 %. Ponselnya bergetar, chat dari Caraka.

Caraka

Dmn?

Ga ada masalah, kan?

Anindita ingin membalas, "Masalahnya itu ada di kamuuuuu, tahuu! Masa sih gitu aja nggak tahu?" tapi tidak mungkin dia membalas gitu, yang ada, dia langsung didepan dan tidak lagi diberi kesempatan untuk bekerja. Jadi Anindita mengendalikan emosi sambil membalas.

Anindita.

*Sends a picture*

Udah dibeliin semua.

Bentar lg smp

Caraka.

Good.

Buruan ya, haus nih.

Anindita mempercepat langkahnya. Dia akhirnya tiba (lagi) di studio. Dalam hati dia berdoa supaya Caraka tidak menyuruh hal-hal aneh. Sungguh, dia ingin duduk sejenak. "Bantuan datang!" teriaknya.

Personil yang tadi sibuk di balik alat mereka kontan memilih beristirahat sebentar untuk meneguk minuman. Bas sibuk melihat isi dalam paper bag dengan buas, melihat snack apa yang dibeli oleh Anindita. Anindita jadi de'javu, beginilah situasi para ibu di kampung kalau pulang dari acara rewang, anak-anaknya akan menyerbu plastik bawaan untuk melihat kue enak apa yang mereka bawa.

Caraka menyerahkan sebotol minuman dingin ke Anindita. "Alhamdulillah rezeki anak solehah, makasih banyak ya, Bapak Manajer yang baik hati." Tentu saja ucapan itu menyindir.

"Ini snack kesukaanku, tahu kali ya kau ini kesukaanku." Bas sudah lebih dulu mengambil sebuah keripik yang tadinya akan diambil oleh Reijiro.

"Tenang, selama Anindita di sini, aku bakal mencatat kesukaan kalian satu per satu. Tapi tetap ya duitnya dari mana." Dia melirik Caraka yang sudah duduk di kursi, sibuk dengan I-pad di tangannya.

Setelah melepaskan dahaga, satu per satu kembali ke alat bermain mereka masing-masing. Anindita duduk di sebelah Adiv yang sudah datang, dia paling terlambat hadir karena harus jadi asisten dosen yang praktikumnya baru selesai di pukul setengah enam sore.

"Nin, kamu tuh asalnya dari mana, sih?" Adiv bertanya sambil duduk rapat di sebelah Anindita.

"Pesisir, tahu Krui nggak? Kampung aku di situ. Kalau kamu suka ke pantai, cocok banget ke sana. Lautnya biru, langitnya tuh kalau siang bagus banget. Bahkan tiap kali ada perlombaan surfing Internasional, itu sering diadain di Krui." Dia bercerita dengan heboh, tiap kali diberi kesempatan untuk menceritakan tentang daerahnya. Anindita akan senang hati mempromosikan secara gratis.

"Kapan-kapan kalau ada waktu, mau main deh ke sana."

"Boleh, nanti aku jadi tour guide-nya, tapi waktunya harus pas. Kalau aku balik kampung, ya?"

Adiv mengangguk.

"Kamu Kak Adiv, kan?" Anindita berusaha mengingat, "terus kalau vokalisnya kan ada dua, aku suka ketukar nih. Kalau yang di sebelah kiri siapa?"

"Tenggara di sebelah kiri, sebelah kanan itu Kajev. Tenggara itu alergi sama debu, makanya Bang Caraka suka marah kalau yang lain pada jorok. Kayak Kajev, dia perokok aktif, Bang Caraka suka ngomel ke Kajev perkara debu rokok Kajev suka ada di mana-mana. Nah kalau yang main gitar namanya Semesta Auriga, panggilannya Semesta, dia pintar banget masak sama suka foto. Kalau lagi jalan-jalan, dia jadi fotografer pribadi kita semua, sayangnya nggak timbal balik. Kalau kita semua yang fotoin Semesta, pasti jelek, karena kita semua nggak ada bakat fotoin orang," komentar Adiv membuat Anindita tertawa.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now